Ilustrasi seorang Dayak menenteng kepala musuh
yang dipenggalnya (1823).
Sumber: http://www.geheugenvannederland.nl
|
Orang Kalimantan seolah manusia barbar yang tak mengenal aturan
hidup. Padahal, Pemerintah Kolonial Belanda pun melakukan perbuatan serupa
dalam Perang Banjar. Beberapa pimpinan pasukan Banjar sepeninggal Pangeran
Antasari yang wafat 1862, kepalanya dipotong untuk dipamerkan di masuk Museum
Belanda.
Tercatat Demang Lehman, Penghulu Rasyid, Tumenggung Jalil, tiga
tokoh Perang Banjar yang kepalanya dipenggal. Bahkan, ada yang jenazahnya sudah
dikubur lalu digali untuk diambil tengkorak kepalanya. Betapa hipokritnya
Belanda yang "mengayau" kepala manusia yang dicapnya sebagai berandal.
Penggambaran perilaku manusia Kalimantan yang dituding berperadaban
rendah tersebut kembali ditulis pada tahun 1920 oleh Carl Lumholtz dengan menyematkan
istilah “The Land of the Head-Hunters” pada judul bukunya mengenai
perjalanan di pulau ini tahun 1913–1917. Pada dekade berikutnya, seorang
Belanda menulis buku Borneo, Het Eiland der Koppensnellers. Terjemahan
judul buku yang terbit 1930 ini ialah “Borneo, Pulau Para Pemburu Kepala
Manusia”.
Akibat vonis buruk tersebut, para pejuang nasionalisme lokal tak
rela menisbatkan nama tanah airnya dengan “Borneo”. Hal ini diungkapkan oleh
seorang tokoh jurnalistik Samarinda tempo dulu, Oemar Dachlan, dalam Surat
Kabar Harian Berita Buana, 3 Agustus 1981. Mereka lebih memilih nama
“Kalimantan” sebagai identitas tumpah darahnya.
Seorang Dayak dengan mandau dan perisainya (1920). Sumber foto: http://www.geheugenvannederland.nl |
Ada pula versi
lain asal usul nama Borneo dari kata “Bornei”, yang diklaim sebagai nama
pemberian oleh Pigafetta, satu dari beberapa orang penumpang kapal ekspedisi
Magellan dari Maluku yang selamat tiba di Kesultanan Brunei tahun 1521.
Pulau Kalimantan sebelum diberi nama Borneo, mempunyai beberapa
nama dalam referensi kuno. Menurut tradisi lisan Dayak kuno, namanya adalah
Pulau Goyang, yang berarti pulau suci. Ada pula yang menamakannya Bagawan Bawi
Lewu Telo, yang artinya negeri tempat tiga putri.
Sementara itu, menurut tradisi lisan pada masa kerajaan Hindu abad
ke-13, nama Pulau Kalimantan adalah Tanjung Negara, maksudnya pulau atau negara
yang memiliki banyak tanjung (tanah/daratan yang menjorok ke laut). Kitab Negarakretagama
karya Mpu Prapanca abad ke-14 juga menyebut nama Tanjungpura (Tanjungpuri)
sebagai satu dari wilayah Kerajaan Majapahit. Tanjungpura merupakan nama
kerajaan Banjar Hindu kuno. Sebuah atlas Hindia Belanda tahun 1938 mencantumkan
nama Tanjung Negara untuk pulau besar yang terletak antara Laut Cina Selatan
dan Laut Jawa ini.
Adapun nama Kalimantan merupakan nama yang dipopulerkan sejak
Pangeran Samudra alias Pangeran Suriansyah memulai Kerajaan Banjar dalam format
Kesultanan Islam pada tahun 1526. Asal usulnya ada dua versi. Pertama,
Kalimantan dari kata "kali" dan "matan" yang berarti sungai
yang besar-besar. Kedua, Kalimantan dari nama biotik “kalamantan”, yakni
sejenis pohon buah asam yang banyak terdapat di pulau ini.
Demang Lehman, satu dari perwira Pasukan Banjar pengikut Pangeran Antasari yang tengkorak kepalanya disimpan di Museum Belanda. Sumber gambar: http://www.geheugenvannederland.nl |
Penamaan Kalimantan untuk media cetak terjadi pada tahun 1930 di
Banjarmasin dan 1931 di Samarinda. Di kota bekas pusat Kesultanan Banjar terbit
koran Soeara Kalimantan. Adapun di Samarinda terbit koran mingguan
bernama SORAK, singkatan dari Soeara Rakjat Kalimantan. Sekitar
tahun 1937 juga terbit surat kabar mingguan bernama Kalimantan Timoer.
Nama Borneo sendiri sempat dipakai oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) selama beberapa waktu sejak 19 Agustus 1945 ketika
menetapkan Borneo sebagai satu dari delapan provinsi yang dibentuk di Negara Republik
Indonesia. Namun, tak lama berselang, nama Borneo terkubur, tergantikan oleh
nama geopolitik Kalimantan, termasuk ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
H.J. Van Mook 1947 membentuk pemerintahan boneka bernama Federasi Kalimantan
Timur.
RI sejak pengakuan kedaulatan 1949 pun sudah memakai nama
Kalimantan, tidak lagi Borneo. Kalimantan menjadi nama resmi sebuah provinsi
besar hingga akhir tahun 1956 dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Sekian tahun nama yang diberikan Belanda dan Inggris itu tenggelam,
kini kita menyaksikan kemunculan kembali nama Borneo dalam penyematan nama
perkumpulan, komunitas, paguyuban, organisasi berlatar etnis, atau objek wisata dan fasilitas publik. Inilah
pentingnya belajar sejarah, lebih dari berkoar “Jas Merah” atau “Jangan
sekali-kali melupakan sejarah”. Jargon Jas Merah memang ringan diucapkan, tapi ternyata
implementasinya belum memadai.
Setelah mengetahui
sejarah "yang menyakitkan hati" para pejuang Republiken tempo dulu
mengenai nama Borneo, tentu kita akan konsisten mempergunakan nama “Kalimantan”.
Memakai “Kalimantan” dan meninggalkan “Borneo” berarti menghormati jasa para
pejuang Republiken serta menghargai kearifan lokal.
***
Penulis: Muhammad Sarip
(Tulisan
ini revisi dari artikel yang dipublikasikan pertama kali tanggal 30 Maret 2017)
Daftar Pustaka
Bock, Carl. 1882. The
Head-Hunters of Borneo: A Narrative of Travel up the Mahakkam and Down the
Barito; also, Journeyings in Sumatra. London: Sampson Low, Marston, Searle,
& Rivington.
Bondan, Amir Hasan Kyai. 1953. Suluh
Sedjarah Kalimantan. Banjarmasin: Fajar.
Dachlan,
Oemar. "Pada Permulaan Kemerdekaan Kalimantan Masih Disebut Borneo". SKH
Buana, 3 Agustus 1981.
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama.
Yogyakarta: LkiS (diterbitkan pertama kali oleh Bhatara Karya Aksara Jakarta,
1979).
Riwut, Tjilik.
1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan (dicetak pertama kali
tahun 1979). Yogyakarta: NR Publishing.
Sarip,
Muhammad. 2017. Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999. Samarinda:
RV Pustaka Horizon.
Sjamsuddin, Helius.
2001. Pegustian & Temenggung Akar
Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859–1906. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan kedua oleh
Penerbit Ombak, Yogyakarta.
_________.
2013. Perlawanan dan Perubahan di Kalimantan Barat: Kerajaan Sintang 1822–1942.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tim
Penyusun. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
28 Mei 1945–22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Seminar dan Bedah Buku Moeis Hassan Pejuang Kaltim
Moeis Hassan Calon Pahlawan Nasional dari Kaltim
Tragedi 1950 di Lapangan Kinibalu
Sejarah Peringatan Hari Pahlawan Perdana di Samarinda
Peluncuran dan Diskusi Buku Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara
Pua Ado, Kepala Polisi Banjar, dan Pangeran Bendahara di Samarinda Tempo Dulu
Ini Sebabnya Kita Pakai Nama Kalimantan, Bukan Borneo
Menyingkap Fakta Makam Tua di Samarinda
Demo Anti-Mega di Samarinda, 18 Mahasiswa Dipenjara
Bentrok Berdarah Mahasiswa Versus Polisi Samarinda 1998Tragedi Kebakaran Dahsyat di Samarinda 1958
Mengintip Kehidupan Samarinda Bahari
Emansipasi Perempuan Kutai Zaman Dulu
Lihat semua artikel klik SejarahKaltim.com
luar biasa
BalasHapus