Selasa, 24 Juli 2018

Ini Sebabnya Kita Pakai Nama Kalimantan, Bukan Borneo

Gara-gara buku The Head-Hunters of Borneo, para pejuang lokal Kalimantan tempo dulu enggan berbangga dengan nama "Borneo" untuk tanah airnya. Buku karya Carl Bock tahun 1882 ini merupakan satu dari karya tulis asing yang menyebabkan imaji negatif alias citra buruk bagi Pulau Kalimantan secara umum.

Ilustrasi seorang Dayak menenteng kepala musuh
yang dipenggalnya (1823).
Sumber: http://www.geheugenvannederland.nl
Pulau yang banyak sungai dan berhutan lebat ini dideskripsikan sebagai daratan yang dihuni manusia primitif nan biadab yang gemar memenggal kepala sesama mereka. Tradisi yang disebut ngayau oleh masyarakat pedalaman itu menjadi kisah horor yang ditulis oleh penjelajah Eropa.

Orang Kalimantan seolah manusia barbar yang tak mengenal aturan hidup. Padahal, Pemerintah Kolonial Belanda pun melakukan perbuatan serupa dalam Perang Banjar. Beberapa pimpinan pasukan Banjar sepeninggal Pangeran Antasari yang wafat 1862, kepalanya dipotong untuk dipamerkan di masuk Museum Belanda.

Tercatat Demang Lehman, Penghulu Rasyid, Tumenggung Jalil, tiga tokoh Perang Banjar yang kepalanya dipenggal. Bahkan, ada yang jenazahnya sudah dikubur lalu digali untuk diambil tengkorak kepalanya. Betapa hipokritnya Belanda yang "mengayau" kepala manusia yang dicapnya sebagai berandal.

Penggambaran perilaku manusia Kalimantan yang dituding berperadaban rendah tersebut kembali ditulis pada tahun 1920 oleh Carl Lumholtz dengan menyematkan istilah “The Land of the Head-Hunters” pada judul bukunya mengenai perjalanan di pulau ini tahun 1913–1917. Pada dekade berikutnya, seorang Belanda menulis buku Borneo, Het Eiland der Koppensnellers. Terjemahan judul buku yang terbit 1930 ini ialah “Borneo, Pulau Para Pemburu Kepala Manusia”.

Akibat vonis buruk tersebut, para pejuang nasionalisme lokal tak rela menisbatkan nama tanah airnya dengan “Borneo”. Hal ini diungkapkan oleh seorang tokoh jurnalistik Samarinda tempo dulu, Oemar Dachlan, dalam Surat Kabar Harian Berita Buana, 3 Agustus 1981. Mereka lebih memilih nama “Kalimantan” sebagai identitas tumpah darahnya.

Seorang Dayak dengan mandau dan perisainya (1920).
Sumber foto: http://www.geheugenvannederland.nl
Asal usul nama Borneo sendiri bermula dari nama Burnei, yang pada abad ke-17 berubah menjadi Borneo. Burnei berasal dari kata Barunei, yaitu nama ibu kota Kesultanan di utara barat laut Pulau Kalimantan. Sebelum populer menjadi Barunei atau Berunai (Brunai), asal katanya adalah Barnei, dari bahasa Sanskerta, yang berarti tanah atau tempat.

Ada pula versi lain asal usul nama Borneo dari kata “Bornei”, yang diklaim sebagai nama pemberian oleh Pigafetta, satu dari beberapa orang penumpang kapal ekspedisi Magellan dari Maluku yang selamat tiba di Kesultanan Brunei tahun 1521.

Pulau Kalimantan sebelum diberi nama Borneo, mempunyai beberapa nama dalam referensi kuno. Menurut tradisi lisan Dayak kuno, namanya adalah Pulau Goyang, yang berarti pulau suci. Ada pula yang menamakannya Bagawan Bawi Lewu Telo, yang artinya negeri tempat tiga putri.

Sementara itu, menurut tradisi lisan pada masa kerajaan Hindu abad ke-13, nama Pulau Kalimantan adalah Tanjung Negara, maksudnya pulau atau negara yang memiliki banyak tanjung (tanah/daratan yang menjorok ke laut). Kitab Negarakretagama karya Mpu Prapanca abad ke-14 juga menyebut nama Tanjungpura (Tanjungpuri) sebagai satu dari wilayah Kerajaan Majapahit. Tanjungpura merupakan nama kerajaan Banjar Hindu kuno. Sebuah atlas Hindia Belanda tahun 1938 mencantumkan nama Tanjung Negara untuk pulau besar yang terletak antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa ini.

Adapun nama Kalimantan merupakan nama yang dipopulerkan sejak Pangeran Samudra alias Pangeran Suriansyah memulai Kerajaan Banjar dalam format Kesultanan Islam pada tahun 1526. Asal usulnya ada dua versi. Pertama, Kalimantan dari kata "kali" dan "matan" yang berarti sungai yang besar-besar. Kedua, Kalimantan dari nama biotik “kalamantan”, yakni sejenis pohon buah asam yang banyak terdapat di pulau ini.

Demang Lehman, satu dari perwira Pasukan Banjar pengikut Pangeran Antasari yang tengkorak kepalanya disimpan di Museum Belanda.
Sumber gambar: http://www.geheugenvannederland.nl
Penamaan Kalimantan untuk media cetak terjadi pada tahun 1930 di Banjarmasin dan 1931 di Samarinda. Di kota bekas pusat Kesultanan Banjar terbit koran Soeara Kalimantan. Adapun di Samarinda terbit koran mingguan bernama SORAK, singkatan dari Soeara Rakjat Kalimantan. Sekitar tahun 1937 juga terbit surat kabar mingguan bernama Kalimantan Timoer.

Nama Borneo sendiri sempat dipakai oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) selama beberapa waktu sejak 19 Agustus 1945 ketika menetapkan Borneo sebagai satu dari delapan provinsi yang dibentuk di Negara Republik Indonesia. Namun, tak lama berselang, nama Borneo terkubur, tergantikan oleh nama geopolitik Kalimantan, termasuk ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.J. Van Mook 1947 membentuk pemerintahan boneka bernama Federasi Kalimantan Timur.

RI sejak pengakuan kedaulatan 1949 pun sudah memakai nama Kalimantan, tidak lagi Borneo. Kalimantan menjadi nama resmi sebuah provinsi besar hingga akhir tahun 1956 dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Sekian tahun nama yang diberikan Belanda dan Inggris itu tenggelam, kini kita menyaksikan kemunculan kembali nama Borneo dalam penyematan nama perkumpulan, komunitas, paguyuban, organisasi berlatar etnis, atau objek wisata dan fasilitas publik. Inilah pentingnya belajar sejarah, lebih dari berkoar “Jas Merah” atau “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Jargon Jas Merah memang ringan diucapkan, tapi ternyata implementasinya belum memadai.

Setelah mengetahui sejarah "yang menyakitkan hati" para pejuang Republiken tempo dulu mengenai nama Borneo, tentu kita akan konsisten mempergunakan nama “Kalimantan”. Memakai “Kalimantan” dan meninggalkan “Borneo” berarti menghormati jasa para pejuang Republiken serta menghargai kearifan lokal.

***
Penulis: Muhammad Sarip
(Tulisan ini revisi dari artikel yang dipublikasikan pertama kali tanggal 30 Maret 2017)

Daftar Pustaka

Bock, Carl. 1882. The Head-Hunters of Borneo: A Narrative of Travel up the Mahakkam and Down the Barito; also, Journeyings in Sumatra. London: Sampson Low, Marston, Searle, & Rivington.
Bondan, Amir Hasan Kyai. 1953. Suluh Sedjarah Kalimantan. Banjarmasin: Fajar.
Dachlan, Oemar. "Pada Permulaan Kemerdekaan Kalimantan Masih Disebut Borneo". SKH Buana, 3 Agustus 1981.
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Yogyakarta: LkiS (diterbitkan pertama kali oleh Bhatara Karya Aksara Jakarta, 1979).
Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan (dicetak pertama kali tahun 1979). Yogyakarta: NR Publishing.
Sarip, Muhammad. 2017. Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
Sjamsuddin, Helius. 2001. Pegustian & Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859–1906. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan kedua oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta.
_________. 2013. Perlawanan dan Perubahan di Kalimantan Barat: Kerajaan Sintang 1822–1942. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tim Penyusun. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945–22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
 
Artikel Lainnya:
Seminar dan Bedah Buku Moeis Hassan Pejuang Kaltim
Moeis Hassan Calon Pahlawan Nasional dari Kaltim
Tragedi 1950 di Lapangan Kinibalu
Sejarah Peringatan Hari Pahlawan Perdana di Samarinda
Peluncuran dan Diskusi Buku Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara
Pua Ado, Kepala Polisi Banjar, dan Pangeran Bendahara di Samarinda Tempo Dulu
Ini Sebabnya Kita Pakai Nama Kalimantan, Bukan Borneo
Menyingkap Fakta Makam Tua di Samarinda

Demo Anti-Mega di Samarinda, 18 Mahasiswa Dipenjara

Bentrok Berdarah Mahasiswa Versus Polisi Samarinda 1998
Tragedi Kebakaran Dahsyat di Samarinda 1958
Mengintip Kehidupan Samarinda Bahari
Emansipasi Perempuan Kutai Zaman Dulu

Lihat semua artikel klik SejarahKaltim.com

1 komentar:

Revitalisasi Pecinan Samarinda