Samarinda ialah ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, kawasan dataran rendah di pesisir timur Pulau Kalimantan. Daratan geografi Samarinda dibelah oleh Sungai Mahakam selebar ±400 meter dan diiris oleh sekitar 34 anak dan cabang Sungai Mahakam.
Perkembangan permukiman di wilayah Samarinda bermula dari eksistensi lima kampung di sebelah utara Sungai Mahakam yaitu Pulau Atas, Sambutan, Karang Mumus, Karang Asam, dan Loa Bakung serta satu kampung di selatan Mahakam yakni Mangkupalas. Keenam kampung tersebut merupakan komunitas kuno Samarinda yang eksis minimal sejak abad ke-13 Masehi (kisaran tahun 1200-an), sebelum berdirinya Kerajaan Kutai Kertanegara di Kutai Lama tahun 1300.
Perkembangan sosial-politik Samarinda dari perkampungan kuno hingga menjadi sebuah kota secara administratif dipengaruhi oleh sistem politik pemerintahan Kerajaan Kutai Kertanegara (1300–1844), Kerajaan Banjar (±1450–1700), Pemerintah Hindia Belanda (1844–1942 dan 1945–1949), Pemerintah Militer Jepang (1942–1945), dan Pemerintah Republik Indonesia (1950–sekarang). Perekonomian Samarinda berkembang dengan statusnya sebagai bandar pelabuhan Kerajaan Kutai Kertanegara sejak abad ke-18. Samarinda ramai dengan aktivitas perdagangan dan transit para pedagang antarpulau. Sungai Mahakam menjadi sumber ekonomi sehingga kehidupan penduduk Samarinda terpola sebagai masyarakat pesisir.
Sebelum tahun 1999 Samarinda terbagi atas perkotaan (urban) dan pedesaan (rural) dengan penduduk berkuantitas besar dari etnis Banjar, Kutai, Tionghoa, Jawa, dan Bugis. Penetrasi suku Banjar di daerah Kalimantan bagian timur termasuk wilayah Samarinda dimulai sejak Kerajaan Kutai Kertanegara berada dalam otoritas (kekuasaan) Kerajaan Banjar (Negara Dipa) pada era Maharaja Suryanata kisaran abad ke-15. Sementara itu, orang-orang Bugis Wajo mulai menetap di Samarinda Seberang berdasarkan izin Kerajaan Kutai Kertanegara yang berpusat di Jembayan pada abad ke-18.
Terbentuknya Samarinda sebagai sebuah kota pusat politik birokrasi dimulai dengan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda No. 75 tanggal 16 Agustus 1896 yang menetapkan status Samarinda sebagai Vierkante-Paal, tempat kedudukan asisten residen Belanda. Penetapan ini terjadi 52 tahun setelah Sultan Kutai Kertanegara, Aji Muhammad Salehuddin, menandatangani pernyataan takluk kepada Pemerintah Hindia Belanda, 11 Oktober 1844.
Mulai berkembangnya pendidikan di Samarinda pada awal abad ke-20 menumbuhkan kesadaran sebagian penduduk akan kemestian merdeka dan berdaulat sebagai bagian dari bangsa Nusantara yang sama-sama berada di bawah pemerintahan bangsa asing. Berbagai organisasi pergerakan nasional cabang dari Pulau Jawa didirikan para pemuda di Samarinda. Perlawanan terhadap kolonial Belanda dilakukan dengan agitasi dan propaganda politik serta pertarungan ekonomi melalui pembentukan persekutuan dagang pribumi bernama Handel-maatschaappij Borneo Samarinda (HBS).
Perang Dunia II yang melibatkan Belanda dan Jepang mulai akhir 1941 dan awal 1942 turut berimbas pada kondisi Samarinda dalam segala bidang. Menyerahnya Belanda di Samarinda kepada tentara Jepang 3 Februari 1942 menyebabkan perubahan sosial-politik bagi pergerakan kemerdekaan pribumi. Jargon nasionalisme Indonesia menjadi orientasi warga Samarinda yang sadar akan perjuangan melawan kolonialisme. Selanjutnya, Proklamasi Indonesia oleh Sukarno-Hatta 17 Agustus 1945 menjadi dasar bagi rakyat Samarinda membentuk gerakan bersenjata dan gerakan diplomasi melawan Belanda. Perjuangan mereka juga dimaksudkan untuk bergabung dalam negara Nusantara yang baru menyatakan merdeka, bernama Republik Indonesia. Gerakan bersenjata bernaung dalam wadah Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) Samarinda. Sementara itu, gerakan diplomasi diprakarsai oleh organisasi koalisi Front Nasional dan partai lokal Ikatan Nasional Indonesia (INI) dengan tokoh utamanya, Abdoel Moeis Hassan.
Setelah Kalimantan Timur resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1950, status Samarinda berturut-turut adalah ibu kota Keresidenan Kalimantan Timur, ibu kota Daerah Istimewa Kutai pada tahun 1953 (UU Darurat No. 3 Tahun 1953), ibu kota Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1957, kotapraja pada tahun 1959 (UU No. 27 Tahun 1959), kotamadya pada tahun 1965 (UU No. 18 Tahun 1965), dan terakhir ditetapkan sebagai kota pada tahun 1999 (UU No. 22 tahun 1999).
Modernisasi kota dan masyarakat Samarinda secara signifikan terjadi seiring berkembangnya bisnis kayu bulat/gelondongan dengan istilah banjir kap pada dekade 1970-an. Pembukaan banyak perusahaan industri kayu lapis di pesisir Sungai Mahakam menjelang tahun 1980 menyebabkan ledakan jumlah penduduk Samarinda. Sekitar 75.000 orang dari Sulawesi, Jawa, dan regional Kalimantan eksodus ke Samarinda dengan misi bekerja di perusahaan kayu. Kejayaan ekonomi dari hasil hutan itu berakhir seiring krisis ekonomi nasional tahun 1998.
Interaksi sosial antarpenduduk di Samarinda dalam komunikasi verbal menggunakan dua bahasa sebagai unsur kebudayaan universal. Bahasa yang dipergunakan dan dipahami oleh mayoritas penduduk Samarinda selain bahasa nasional Indonesia adalah bahasa lokal Banjar. Penutur bahasa Banjar tidak hanya dari internal etnis Banjar, tetapi secara aktif maupun pasif juga dari etnis lainnya seperti Jawa, Bugis, Tionghoa, dan lain-lain.
[Artikel ini dikutip dengan revisi dari buku Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999 terbitan Komunitas Samarinda Bahari, halaman 14–16]
Penulis: Muhammad Sarip
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar