Sabtu, 06 Mei 2017

Djumri Obeng, Sastrawan Asal Loa Kulu

Latar Keluarga
Djumri Obeng adalah pria kelahiran Loa Kulu, Samarinda, Kalimantan Timur, pada 09 Desember 1945. Pak Iim, keponakan Djumri Obeng, menuturkan kepada penulis perihal paman beliau. Djumri Obeng dikabarkan adalah anak bungsu. Kakak-kakak beliau yakni Runi, Syukur, Mastur, Hayatun, Amat. Ayah Djumri Obeng, populer dengan sebutan "Juragan Obeng".
Juragan Obeng adalah juru mudi kapal milik Oost Borneo Maatschappij (OBM) yang bernama "Marite". OBM adalah perusahaan batu bara pemerintah Hindia Belanda, yang pada kisaran tahun 1888-1970 melakukan kegiatan penambangan dengan sistem terowongan di Loa Kulu. Banyak jejak peninggalan OBM yang masih terserak di Loa Kulu. Satu yang mudah ditemukan dan dikenali adalah komplek bangunan Magazijn yang ada dekat Perusahaan Daerah Air Minum Loa Kulu, di pinggir jalan lintas Tenggarong-Jembayan.
Rumah yang menjadi tempat kelahiran Djumri Obeng, kini telah menjadi bagian dari Sungai Mahakam, akibat erosi sungai yang masif. Hanya tersisa bagian dari beton pondasi sejak zaman Belanda, yang menjadi penanda bahwa di wilayah tersebut sebelumnya merupakan bagian dari area perumahan.
Djumri Obeng kemudian menikah dengan Acil Eneng, wanita berdarah Sunda. Acil Eneng adalah nama sebutan, untuk memudahkan, sebagaimana lazimnya di masyarakat Kalimantan Timur untuk memanggil nama orang dengan nama alias. Sampai tulisan ini dibuat, belum diketahui nama asli untuk istri Djumri Obeng. Pak Iim mengingat bahwa anak Djumri Obeng ada empat, yang dipanggil dengan nama-nama sebagai Aladin, Iwan, Dole' dan Endang.
Kakak-kakak dari Djumri Obeng dikabarkan suka berkesenian seperti bermain gambus. Djumri Obeng sendiri juga menikmati berkesenian berupa lakon mamanda.
Karir
Djumri Obeng menempuh pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama di Loa Kulu. Selepas itu, beliau meninggalkan Loa Kulu. Tidak diketahui di mana Djumri Obeng menempuh pendidikan SMA-nya. Djumri Obeng kemudian tercatat telah menyelesaikan pendidikan pada Akademi Teater Cabang Solo (1962) meski juga dikabarkan sempat belajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Karir Djumri Obeng kemudian beragam. Beliau kemudian menjadi redaktur kebudayaan "Mingguan Gelora Minggu" di Jakarta (1962), redaktur Media Indonesia di Jakarta (1976-1980), wartawan Suara Merdeka di Semarang (1979-1981), wartawan Waspada di Medan (1981), redaksi majalah Citra Film,redaktur penerbit Wijaya di Jakarta (1962-1963), dan anggota dewan pengarang P.N. Balai Pustaka, Jakarta (1963-1964).
Djumri Obeng kemudian menyibukkan diri dengan menulis di berbagai media massa sejak tahun 1972. Beberapa di antaranya adalah majalah Sastra pimpinan H.B. Jassin, Pustaka dan Budaya Balai Pustaka, Sarinah, Amanah, Femina, Sinar Harapan, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dan Waspada. Cerpen beliau yang berjudul "Langit Tidak Hitam" diterjemahkan dalam bahasa Prancis sebagai salah satu cerpen pilihan Indonesia.
Karya-karya beliau dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Beberapa yang berhasil diketahui yakni:
A. Novel Umum:
1. Dunia Belum Kiamat (1965) 
2. Lembah dan Kasih 
3. Perjalanan Hidup Seorang Jenderal
4. Duri-Duri Perkawinan
B. Novel Anak-Anak
1. Ibus; Pelopor Pembangunan dari Ulu Mahakam
2. Mendulang Intan
3. Buah Tengkawang
4. Dewi Intan Sari
C. Tulisan Berlatar Sejarah atau Budaya
1. Demi Adikku (cerita rakyat Kutai)
2. Anak Bangsa dan Tuan Kontroler (cerita perjuangan di Loa Kulu)
3. Merdeka atau Mati (cerita perjuangan)
4. Merah Putih di Langit Sanga-Sanga (cerita perjuangan di Sanga-Sanga, 1996)
5. Pantang Menyerah (cerita perjuangan)
6. Haram Menyerah (cerita perjuangan masyarakat Kalimantan Timur)
7. Perjalanan ke Gunung Limut (cerita rakyat suku Dayak Benuaq)
8. Nuansa Kampung Halaman (kumpulan tulisan dari penulis berbeda. Djumrie Obeng berkisah tentang Loa Kulu di buku tersebut)
9. Kali Emas dan Intan (Kalimantan), terbitan Rosda tahun 1985
10. Tumbuhku di Kalimantan, terbitan Rosda tahun 1985
D. Puisi dan Syair
1. "Suku Dayak" (1992), berupa puisi anak
2. "Lestari", berupa kumpulan puisi lingkungan hidup
3. "Sasindiran dan Sasyairan Suku Banjar Pahuluan" (1995)
E. Laporan Ilmiah
1. "Budi Daya Buah Tengkawang" (laporan ilmiah)
2. "Asal Usul Kerajaan Banjar" (1995)
F. Humor & Budaya
1. "Akal Serawin" (humor)
2. "Tingkilan dan Tarsulan Kutai" (budaya)
3. "Mutiara Mahakam" (fragmen peristiwa atau fenomena budaya yang pernah/masih terjadi di kota atau tempat tertentu di Kalimantan Timur, 1993)
4. "Sejuta Pesona di Tanah Kutai"
G. Cerita Bersambung di harian lokal Manuntung di Kalimantan Timur
1. "Kuyang"
2. "Si Manis Jembatan Mahakam"
Djumri Obeng sempat pula membuat seminar tentang keberadaan "Hantu Banyu", makhluk yang dikabarkan berada di daerah perairan Sungai Mahakam, bermata merah menyala apabila tak sengaja berpapasan oleh warga di malam hari ketika memeriksa keramba ikannya, dan dikabarkan memakan ikan. Keramba-keramba yang mestinya berisi ikan kadangkala tak lagi berisi ikan dan diyakini dimangsa oleh Hantu Banyu tersebut.
Djumri Obeng umumnya menggarap tema-tema mitor dan legenda dari masyarakat Dayak pedalaman. Cerpen, sajak dan drama-dramanya banyak berkisah tentang roh halus, setan, 
demit, serta situasi dan kondisi masyarakat Dayak pedalaman yang sederhana dan belum tersentuh kemajuan.
Djumri Obeng kadangkala berlaku sebagai sutradara dan pemeran di lakon mamanda yang saat itu cukup populer sebagai salah satu kesenian di masyarakat. Mitranya bermain mamanda saat itu antara lain Satar Miskan, yang dikenal lewat sanggar mamandanya "Kakamban Habang".
Djumri Obeng menurut penuturan pak Iim, pernah pula menjadi asisten sutradara dari suatu film yang kala itu dibintangi oleh Rano Karno, dengan lakon tentang anak cacat (film "Detik-Detik Cinta Menyentuh", tahun 1981).
Di Jakarta, Djumri Obeng tinggal di bilangan Pertukangan.
Masa Tua dan Akhir Hayat
Pada kisaran tahun 1994/1995, Djumri Obeng berkunjung kembali ke Kalimantan Timur. Ia berpartisipasi dalam proyek kerja sama dengan Menteri Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan, Siswono Yudo Husodo, untuk mengadakan penelitian tentang daerah transmigrasi. Hasil dari penelitian tersebut diwujudkan dalam bentuk karya tulis sastra guna menarik minat pembaca kalangan muda. 

Selanjutnya, ia menghabiskan hari tuanya di Jakarta bersama istri kedua dan anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang. Pihak keluarga  menepis kabar yang menyebutkan bahwa Djumri Obeng sering sakit-sakitan. Djumri Obeng justru menjalani masa tuanya dengan sehat walafiat. Menurut penuturan seorang anak kandungnya, Djumri Obeng kemudian meninggal dunia dalam pelukan ibu mertuanya pada tahun 1997.


Penutup
Karya-karya Djumri Obeng banyak yang tak lagi tersimpan di arsip nasional maupun daerah. Penelusuran dari internet, hanya beberapa karyanya yang tercatat di perpusatakaan universitas maupun katalog buku nasional. Tulisannya yang berjudul "Anak Bangsa dan Tuan Kontroler", dituturkan bercerita tentang perjuangan di Loa Kulu.
Namun demikian, buku tersebut tak terbaca di internet sama sekali, baik sebagai koleksi perpustakaan maupun sebagai buku bekas yang ditawarkan untuk dijual. Penulis mencoba menelusur ke penerbit yang pernah mencetak buku itu, yakni Puspa Swara, namun serangkaian e-mail maupun whatsapp yang dilayangkan untuk mengkonfirmasi hal tersebut, hingga tulisan ini dibuat, tak digubris atau dibalas sama sekali oleh pihak penerbit.
Hal ini amat disayangkan, karena fragmen suasana Loa Kulu di masa lampau yang dituturkan di buku "Anak Bangsa dan Tuan Kontroler" tersebut, menjadi tak dapat teridentifikasi dengan baik, untuk melengkapi sudut pandang kesejarahan Loa Kulu.
Buku lainnya yang berjudul "Nuansa Kampung Halaman", di mana tulisan Djumri Obeng menjadi satu dari sekian tulisan yang dimuat di buku tersebut bersama penulis lain, berdasarkan penelusuran internet, tersimpan di dua perpustakaan di Australia! Belum terdata rekam arsipnya di perpustakaan nasional, apalagi daerah.
Beberapa buku lain, masih beredar di jagad internet dan diperjualbelikan. Beberapa yang berhasil dikenali yakni "Mutiara Mahakam", "Sejuta Pesona di Tanah Kutai", "Suku Dayak".
Semoga, pemerintah pusat maupun daerah dapat memberikan perhatian kepada penelusuran dan pengarsipan pustaka-pustaka lokal yang bertutur tentang kekayaan alam dan budaya daerah, sebagai referensi dalam memahami perkembangan di masa silam dan perencanaan-perencanaan di masa mendatang.

Penulis: Fajar Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Revitalisasi Pecinan Samarinda