Naskah kuno Salasilah Kutai (1849) merupakan karya tulis pujasastra sekaligus berfungsi sebagai sumber sejarah. Sebagai tulisan dari perspektif intern Kutai, naskah tersebut tidak mengungkap status Kutai Kertanegara sebagai bawahan dari Kerajaan Majapahit. Namun, secara tersirat, superioritas dan hegemoni Majapahit tampak dari riwayat berkunjungnya Raja Kutai Kertanegara ke-3 pada abad XIV ke ibu kota Kerajaan Majapahit.
Kala itu, Maharaja Sultan dan saudaranya yang bernama Maharaja Sakti, dari Kutai Lama melakukan studi banding ke Kerajaan Majapahit. Di istana Majapahit, mereka bertemu dengan Patih tersohor, Gajah Mada. Mereka menimba ilmu ketatanegaraan, tata krama, dan kebudayaan dari Raja Berma Wijaya (Brawijaya). Hal ini mengindikasi kedudukan Majapahit yang lebih tinggi dari aspek peradaban maju sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Kebutuhan studi banding yang mengambil lokasi di Majapahit juga mendukung warta dari Kitab Negarakretagama karya Mpu Prapanca (1365) yang menyebutkan Kutai (Kute setelah Tunjung) sebagai satu di antara kerajaan yang ditaklukkan Patih Gajah Mada. Majapahit sebagai kerajaan besar yang mempunyai kekuatan militer dan wilayah kekuasaan yang luas, sangat logis dijadikan tempat belajar oleh Kutai.
Lantas, bagaimana hubungan ketatanegaraan antara Kutai dengan imperium Majapahit? Apakah Kutai berstatus kerajaan jajahan seperti pemerintah kolonial dengan daerah koloninya ataukah Kutai seperti provinsi dalam negara kesatuan?
Nusantara yang dipersatukan Patih Gajah Mada bukan berbentuk Majapahit menjajah kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Hal ini karena Majapahit tidak menempatkan pasukan militer dan mendirikan pemerintahan kolonial Majapahit di tiap kerajaan yang ditaklukkan. Menurut Prof. Slamet Muljana (1979 : 162), pengertian daerah bawahan Majapahit pada abad ke-14 berbeda dengan pengertian koloni dalam zaman modern. Persembahan upeti yang tidak banyak nilainya oleh daerah tertentu kepada Majapahit, sudah dapat dianggap sebagai bukti pengakuan kekuasaan Majapahit atas daerah yang bersangkutan dan karenanya daerah itu dianggap sebagai daerah bawahan.
Nusantara zaman Gajah Mada juga bukan berbentuk negara kesatuan (unitaris) dengan pembagian provinsi kerajaan karena pemerintah kerajaan di daerah-daerah bukanlah perpanjangan tangan pemerintah pusat di Majapahit.
Status ketatanegaraan yang lebih tepat untuk mengungkap hubungan kerajaan-kerajaan lain dengan imperium Majapahit adalah bentuk negara federal. Kerajaan Kutai Kertanegara dan kerajaan-kerajaan lain merupakan negara-negara bagian dalam negara induk Nusantara-Majapahit. Setiap negara bagian, termasuk Kutai Kertanegara, mempunyai hak otonom mengatur pemerintahan sendiri. Tetapi, kerajaan-kerajaan tersebut harus memberi upeti sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan Majapahit atas teritorial Nusantara. Majapahit juga berwenang mengatur politik dan hukum nasional dalam bidang maritim serta menjamin keamanan dan ketertiban umum di jalur perdagangan internasional.
Kerajaan Kutai Kertanegara sebagai pemerintahan di seberang lautan Majapahit tidak mengalami perubahan apapun setelah menjadi daerah bawahan Majapahit. Menurut Prof. Slamet Muljana (1979: 164), dalam urusan negara, raja-raja atau pembesar daerah bawahan di seberang lautan berdaulat penuh. Kewajiban utama daerah bawahan terhadap pusat ialah menyerahkan upeti tahunan dan menghadap raja Majapahit pada waktu-waktu yang ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan kekuasaan Majapahit. Pemerintah pusat tidak mencampuri urusan daerah.
[Artikel ini merupakan sub-bab dari naskah buku Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, terbitan Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari, 2018]
Penulis: Muhammad Sarip
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar