Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 baru diketahui penduduk Tenggarong pada pekan kedua bulan September 1945. Kabar ini diperoleh di antaranya melalui radio milik seorang montir listrik bernama Kasan. Teknisi dari Surabaya yang sudah lama berdomisili di Tenggarong itu rajin membunyikan radionya sehingga para pemuda kerap berkumpul di rumahnya untuk sama-sama mendengarkan siaran berita. Kala itu, berita yang mendominasi adalah seputar peperangan antara Jepang melawan sekutu.
Elham Alie menuturkan peristiwa bersejarah di Tenggarong 1945 dalam sebuah buku terbitan Pemerintah Daerah Kutai 1981 berjudul Gelora Mahakam dalam Cuplikan Tulisan. Menurut mantan ketua Barisan Sadewa Tenggarong (1945) itu, setelah mengetahui kabar Proklamasi Seokarno-Hatta, sekitar sepuluh orang warga Tenggarong sepakat membentuk organisasi perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan di tanah Kutai. Organisasi itu dinamakan “Gerakan Rakyat Kutai”, disingkat “Gerak”.
Dr. Suwondo, seorang petugas kesehatan yang pernah bertugas di Long Iram (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kutai Barat) didaulat sebagai pimpinan Gerak. Ayah dari Siswono Yudo Husodo (mantan menteri Orde Baru) itu dipilih mengingat kapasitasnya sebagai orang terpelajar dan lebih dulu mengetahui informasi Proklamasi dari surat kabar yang diperolehnya secara rahasia. Sementara itu, Abdoel Moeis Hassan, tokoh sentral perjuangan diplomasi Kaltim, dalam autobiografinya (1994) mengungkapkan, tokoh lain yang juga populer sebagai pimpinan Gerakadalah Abdul Gani, Sutan Baginda Husein, dan Sutan Larangan.
Pada 20 September 1945 tentara Australia tiba di Samarinda untuk melucuti tentara Jepang yang sudah menyerah. Usai tentara Jepang di Tenggarong dilucuti pasukan sekutu, penduduk Tenggarong mulai mengibarkan bendera merah-putih di rumah mereka. Gerak pun menuntut kepada Kesultanan Kutai agar mengibarkan bendera merah-putih di muka keraton. Tetapi, tuntutan ini tidak dipenuhi Kesultanan dengan berbagai alasan terutama kekhawatiran masalah keamanan. Jalan tengah yang diambil, tidak ada satu bendera pun yang dipasang di halaman istana Sultan Aji Muhammad Parikesit.
Meskipun begitu, ketiadaan kain bendera yang terpasang di keraton yang kini menjadi museum itu tidak berlangsung lama. Situasi berubah setelah serdadu KNIL alias tentara Kerajaan Belanda didatangkan ke Tenggarong oleh NICA yang membonceng sekutu. Tentara yang sebagian anggotanya dari kalangan pribumi itu melakukan aksi pamer kekuatan (show of force) di Kota Tenggarong. Alhasil, bendera merah-putih-biru negara Belanda segera berkibar di Tenggarong. Adapun bendera dwiwarna merah-putih dilarang pemasangannya di seluruh wilayah Kutai. Larangan itu tentu saja disertai ancaman kekerasan fisik oleh militer dan polisi Belanda.
Mohammad Asli Amin (mantan Kepala Bappeda Kaltim) mendeskripsikan fakta tentang sikap Kesultanan Kutai yang tidak membantu perjuangan Republik Indonesia pada masa Revolusi Kemerdekaan. Hal ini ditulisnya dalam skripsi mengenai Kerajaan Kutai Kertanegara tahun 1968 yang kemudian diterbitkan Pemda Kutai 1975 dalam buku kumpulan tulisan berjudul Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai.
Hal senada juga dikemukakan oleh tim Kementerian Penerangan RI yang menulis buku Republik Indonesia Propinsi Kalimantan (1953). Ketika Sultan A.M. Parikesit menjadi ketua Federasi Kalimantan Timur yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.J. Van Mook 26 Agustus 1947, fakta yang ditulis pada halaman 103 ialah sebagai berikut (masih memakai ejaan lama): “… rakjat jang pada umumnja amat fanatik terhadap Republik Indonesia, tetapi memandang Pemerintah Kalimantan Timur itu sebagai pemerintah boneka dari Belanda, sehingga para Sultan di Kalimantan Timur jang mendjadi anggauta Dewan Gabungan Kalimantan Timur itu mendjadi turun harganja dalam pandangan mata rakjat”.
Penulis: Muhammad Sarip
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar