Rabu, 07 Februari 2018

Buku Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara


Inilah sebuah buku yang disusun dari riset selama dua tahun, mempelajari naskah-naskah kuno dan pustaka klasik serta mengomparasikannya dengan pendapat para ahli sejarah.

Buku ini berbeda dengan buku-buku lokal yang pernah terbit menceritakan sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara. Buku-buku terdahulu lebih bersifat deskripsi-naratif yang menyadur naskah Salasilah Kutai tanpa melakukan interpretasi dan terkadang disertai narasi-imajinatif guna memperluas dan mengembangkan cerita. Akibatnya, buku “sejarah” tersebut hampir serupa dengan buku dongeng atau legenda (fiksi). Selain itu, memang ada beberapa buku yang bergenre roman sejarah, artinya kisah khayal yang dilatari riwayat sejarah.


Adapun buku ini, penulisannya lebih bersifat deskripsi-analitis yang disusun dengan menempuh metode penelitian sejarah dan metodologi pendekatan struktural. Buku ini sangat berbeda dengan tulisan sejarah konvensional yang narasinya diliputi kultus individu dan sanjungan hiperbolis.

Konten buku ini terdiri atas tiga belas bab. Tiga bab permulaan merupakan mukadimah untuk mengantarkan pembaca dalam memahami proses penulisan sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara yang diakronis (memanjang dalam waktu). Bab IV hingga tujuh bab selanjutnya merupakan rekonstruksi sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara dengan pendekatan struktural. Adapun bab terakhir atau bab XIII merupakan simpulan dan penutup atas deskripsi yang disajikan pada sebelas bab sebelumnya. Setelahnya, terdapat lampiran berupa teks Undang-Undang Panji Salatin dan Beraja Nanti, serta kumpulan foto tempo dulu dan masa kini.


Buku ini diberi kata sambutan oleh Drs. H.M. Asli Amin dan dan diberi kata pengantar oleh Prof. Peter Kasenda. Asli Amin merupakan peneliti lokal pertama yang menyusun karya tulis mengenai sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara dengan metode ilmiah penelitian sejarah pada 1968. Usai purnabakti sebagai PNS, mantan Kepala Bappeda Kaltim berusia 77 tahun ini menjadi Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Kaltim. Adapun Peter Kasenda adalah sejarawan nasional yang banyak menerbitkan tulisan dan buku-buku sejarah sejak 1986.

Buku setebal 336 halaman ini menjawab banyak persoalan, di antaranya perbandingan naskah kuno Salasilah Kutai dengan Kitab Negarakretagama dan Hikayat Banjar. Kemudian, terdapat perbedaan naskah Salasilah Kutai yang diteliti Tromp, Mees, Kern, dengan buku berjudul Salasilah Kutaikarangan D. Adham.

Siapakah sebenarnya Aji Batara Agung Dewa Sakti, sang pendiri dinasti Kutai Kertanegara? Siapakah Putri Karang Melenu yang dihikayatkan muncul dari buih Sungai Mahakam? Benarkah asal usul nama Kutai berasal dari Tiongkok? Bagaimana silsilah para raja Kutai Kertanegara? Buku ini menguraikan ulasannya.

Selanjutnya, terdapat beberapa versi mengenai periodisasi raja yang berkuasa di Kerajaan Kutai Kertanegara. Menurut Kementerian Penerangan RI (1953), tahun berdirinya kerajaan yang mula-mula berpusat di Jaitan Layar ini adalah 1300. Sedangkan Eisenberger berpendapat bahwa raja pertama mulai bertakhta pada tahun 1380. Buku ini membahas penetapan periode mana yang lebih tepat.

Buku yang dicetak di kertas bookpaper ini juga menguraikan hubungan lintas lokal Kerajaan Kutai Kertanegara dengan Bengalon, Tunjung, Kutai Martapura, dan Pasir. Secara khusus dianalisis relasi Kerajaan Kutai Kertanegara dalam Negara Nusantara Majapahit. Begitu pula dengan status vasal Kutai dengan Kerajaan Banjar dan penetrasi Banjar dalam sosial-budaya di Kutai serta andil Kutai dalam Perang Banjar. Tak luput, riwayat kedatangan Bugis di Kutai menurut catatan intern Kutai juga diungkap dalam buku ini.

Pembahasan lain adalah proses awal Islamisasi di Kutai. Banyak tulisan di buku dan internet mengisahkan pengislaman Raja Kutai dengan mitos adu kesaktian antara raja dengan Tuan Tunggang Parangan. Kisah ini memang bersumber dari Salasilah Kutai, tetapi perlu dilakukan interpretasi rasional supaya menjadi narasi sejarah yang valid.
Kemudian, buku ini menguraikan riwayat agresi milter Kutai Kertanegara ke Muara Kaman, alasan pemindahan ibu kota Kutai Kertanegara dari Kutai Lama ke Jembayan lalu ke Tenggarong, serta usaha VOC berhubungan dengan Raja Kutai. Demikian pula tentang penetrasi Hindia Belanda di Kutai.

Asal usul nama Tenggarong versi mainstream “tangga arung” pun ternyata bukan versi tunggal. Ada beberapa versi lain yang mengindikasikan bahwa nama Tenggarong berasal dari kosakata lokal.

Mengapa dan bagaimana perlawanan rakyat di Kutai terhadap Belanda pasca Proklamasi RI 1945? Mengapa Kongres Rakyat Kaltim menuntut pembubaran Kesultanan Kutai? Dua bahasan ini diuraikan cukup panjang dan mendetail, termasuk tragedi yang menimpa mantan Sultan Parikesit dan para bangsawan Kutai pada masa Dwikora.

Konklusi buku yang memuat lebih dari empat puluh foto ini menyimpulkan tentang mengapa dan bagaimana Kerajaan Kutai Kertanegara bisa langgeng hingga 660 tahun. Hal ini termasuk uraian penyebab keruntuhannya.

Buku berjudul Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara ini diluncurkan pada 3 Maret 2018 di Kampus FKIP Universitas Mulawarman Samarinda. Acara Peluncuran dan Diskusi Buku diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HMPS) yang didukung oleh Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB) dan Penerbit RV Pustaka Horizon.

Penulis: Muhammad Sarip

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Revitalisasi Pecinan Samarinda