
Aji Imbut yang bergelar Sultan Muhammad Muslihuddin berperahu dari Jembayan ke arah hulu. Ia singgah di suatu kampung yang beraroma wangi. Rupanya, wangi itu berkat tanaman pandan yang banyak tumbuh di lokasi tersebut. Sesuai
biotik khasnya, kampung itu bernama Tepian Pandan. Penghuninya adalah suku
Kedang-Lampong yang dikepalai oleh Sri Mangku Jagat dan Sri Setia. Sultan memutuskan mendirikan
istana baru di Tepian Pandan.
Beberapa waktu kemudian, nama Tepian Pandan berubah menjadi Tenggarong. Sedikitnya, ada tiga versi
mengenai asal usul penamaan Tenggarong. Versi pertama, menurut folklor, hal ini bermula dari
kebiasaan orang Bugis yang menyebutkan “tangga arung” untuk
menunjukkan kekesalan terhadap prajurit istana yang melarang mereka memakai
tangga sultan di tepian menuju Sungai Mahakam. Arung dalam bahasa Bugis berarti raja. Lama-kelamaan umpatan
“tangga arung” berubah fonem pada huruf vokalnya menjadi “tengga-rong”.
Versi kedua nama Tenggarong
berkaitan dengan tumbuhan tegaron. Dihikayatkan bahwa kampung itu banyak
ditumbuhi pohon tegaron. Lantas, orang-orang Bugis yang membantu Aji Imbut dalam pemindahan pusat
Kerajaan Kutai Kertanegara ketika melafalkan akhiran
/n/ berubah menjadi /ng/ dan antara suku kata te dan ga
disisipkan fonem ng, sehingga kata tegaron berubah menjadi Tenggarong.
Versi ketiga tentang
asal usul nama Tenggarong adalah ungkapan “Tangga Busu Haron”. Ketika
Aji Imbut tiba di Tepian Pandan, ia menatap ke arah hilir lalu melihat ada sebuah rumah yang
tangganya masuk ke dalam sungai. Orang Kutai Lampong setempat menjelaskan bahwa
rumah itu adalah milik seorang warga bernama Busu Haron, yang biasa dipanggil
Aron. Sultan berdiskusi dengan menteri kerajaan dan akhirnya memutuskan
memberi nama sungai kecil di lokasi itu dengan sebutan Tangga Aron.
Alasannya, di sungai tersebut terdapat tangga yang langsung berasal dari rumah
Busu Haron alias Aron. Dari frasa Tangga Aron itulah lama-kelamaan berubah menjadi Tangga
Arong dan selanjutnya mengalami reduksi
jenis sinkop (pengurangan fonem di tengah kata) sehingga menjadi Tenggarong.
Pada periode pemerintahan Bupati Kutai Ahmad Dahlan (1965–1979), muncul gagasan pengembalian nama
Tenggarong ke nama asalnya, yakni Tepian Pandan. Alasannya, pengembalian nama
tersebut akan dapat menghayati
kembali sikap yang dinamis dan kreatif dari Sri Mangku Jagat dan Sri Setia
beserta anak buahnya suku Kedang Lampong, seperti partisipasi yang diberikan oleh kedua
kepala suku itu beserta anak buahnya dalam usaha mencari Tepian Pandan sebagai
tempat kedudukan raja. Namun, upaya tersebut tampaknya tidak berhasil sebagaimana realita
kini, nama ibu kota Kabupaten Kutai (Kartanegara) tetaplah Tenggarong.
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar