Minggu, 30 September 2018

PKI di Benua Etam dan Tumbalnya


“Kakek saya simpatisan Masyumi, dikejar-kejar orang PKI, mau dibunuh.” Seorang teman menceritakan pengalaman hidup kakeknya tahun 1965 kepada penulis. “Alhamdulillah, kakek saya selamat dalam persembunyian,” lanjutnya.

Lain lagi dengan kisah teman yang lain. “Kakek saya dulu petani. Pas dekat Pemilu 1971 ada partai yang membagikan bibit disertai brosur. Kakek saya lalu diciduk aparat dan ditahan selama sebulan. Kakek saya dituduh simpatisan PKI. Tapi akhirnya dibebaskan karena kakek saya sama sekali tidak pernah ikut PKI atau organ sayapnya.”


Dua kisah di atas hanya segelintir dari sekian kasus yang terjadi di negeri ini pada sebelum dan sesudah Gerakan 30 September 1965. Sewindu sebelum G30S bagi Partai Komunis Indonesia adalah hegemoni dan kejayaan. Tetapi, tahun-tahun sesudah G30S bagi PKI adalah keruntuhan.

Tema PKI dan komunisme dalam konteks nasional sudah terlalu banyak yang membahasnya. Karenanya, penulis lebih fokus pada konteks lokal Kalimantan Timur.

Berdasarkan pemilu DPRD pada Februari 1958, PKI Kaltim memiliki tiga kursi keanggotaan di DPRD Provinsi. Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Kaltim yakni Sayid Fachrul Baraqbah, meraih jabatan wakil ketua DPRD. Fachrul adalah bangsawan Kutai keturunan Arab. Ia mempunyai dua saudara laki-laki bernama Aji Raden Sayid Mochsen Baraqbah (aktivis PNI) dan Sayid Gasim Baraqbah (Aktivis NU).

Terlepas dari misteri dan kontroversi G30S, yang jelas isu terkait PKI di Kaltim—sebagaimana di Pulau Jawa—juga meminta tumbal. Para pengurus PKI Kaltim segera diciduk aparat keamanan. Sayid Fachrul Baraqbah diajukan ke pengadilan subversi di Balikpapan.

Majelis hakim dalam persidangan yang ke-10 tanggal 29 November 1966 menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Fachrul. Namun, Fachrul tak segera dieksekusi mati. Vonis hukumannya diubah menjadi hukuman seumur hidup karena ia tidak terlibat langsung dalam G30S. Fachrul yang menanggalkan gelar Aji Raden itu dikurung dalam Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta.

Dalam penjara, aktivis mahasiswa yang ditahan pemerintah karena demonstrasi anti-Jepang 1974 menyaksikan keberadaan Fachrul. Sesuai latar belakangnya sebagai seorang habib, Fachrul beraktivitas unik dengan memberikan pelajaran bahasa Arab kepada sesama penghuni penjara.

Hukuman pidana seumur hidup tidak benar-benar dijalani Fachrul. Pria kelahiran 1925 itu dianggap tidak terlibat secara langsung dalam G30S. Kesalahannya ‘hanya’ sebagai pengurus partai politik terlarang (sejak 12 Maret 1966) tingkat daerah. Fachrul tetaplah seorang yang beragama. Ia bergabung dengan PKI karena baginya partai berlambang palu-arit itu memperjuangkan kesejahteraan rakyat, anti-kapitalis asing, anti-neokolonisme-imperialisme.

Sesungguhnya pengikut PKI tidak otomatis linier menjadi tidak beragama (ateis). Fachrul tetaplah bergaul dan menghadiri acara-acara keagamaan di masyarakat. “Biar begini, saya ini masih keturunan Nabi,” seloroh Fachrul kala itu, sebagaimana dituturkan Kasim (nama samaran), informan berusia 82 tahun, kepada penulis.

Pada dekade 1980-an, Fachrul sudah bebas dan tinggal di Samarinda Seberang. Beberapa waktu kemudian, pria yang pernah menjadi pejuang Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pada masa Revolusi Kemerdekaan itu wafat.

Takdir yang menimpa Fachrul hanyalah segelintir dari sejumlah kasus yang terjadi pada pengurus dan anggota PKI serta orang-orang yang yang dicap sebagai antek komunis. Desas-desus bahwa orang-orang PKI yang tidak berketuhanan itu mempersiapkan alat pencungkil mata, cukup meresahkan dan membangkitkan emosi masyarakat. Massa pun tergerak melakukan persekusi terhadap orang yang distigmakan PKI.

Lebih fatal dari itu, para pendukung atau pengagum Bung Karno pun terkena imbasnya. Presiden Sukarno diisukan terlibat G30S dan dianggap sebagai pembela atau pelindung PKI. Maka, para pengikut setia Bung Karno yang menjadi pejabat daerah turut disingkirkan melalui kekuatan fisik.

Tulisan ini tidak bermaksud sebagai pembenaran atau pembelaan terhadap PKI dan ideologinya yang dilarang di NKRI berdasarkan Ketetapan MPRS No. 25 Tahun 1966. Tak bisa dipungkiri, sebelum tragedi 1 Oktober 1965, massa dan organ PKI terlibat dalam aksi-aksi anarkis yang sampai menumpahkan darah lawannya. Akan tetapi, penulis ingin mendudukkan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, penegakan hukum, anti-radikalisme, serta anti-anarkisme berlaku secara universal.

Kegiatan literasi dalam lingkup kesejarahan bukanlah sekadar menengok masa lampau atau membongkar luka lama. Belajar dari sejarah dapat mewujudkan tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konteks masa kini, belajar sejarah secara komprehensif dapat menjaga persatuan bangsa dan memperkokoh Bhinneka Tunggal Ika.

Penulis: Muhammad Sarip*

*) Tulisan ini telah dimuat dalam Surat Kabar Harian Tribun Kaltim edisi Senin, 1 Oktober 2018, halaman 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Revitalisasi Pecinan Samarinda