
“1898—De Sultan van Koetei zendt
twee zoons naar Holland, Om hem te vertegenwoordigen by de inhuldigingsfeesten;
hy wordt benoem tot Commandeur in de Orde van Oranje Nassau, zyn oudste zoon
tot officier in die orde. Verder sluit hy eenige suppletoire overeenkomsten ter
aanvulling van het politiek contract,” tulis Eisenberger dalam Kroniek der
Zuider-En Oosterafdeling van Borneo.
Dari Kroniek itu dikabarkan,
pada tahun tersebut Sultan Koetei mengirim dua putranya ke Belanda,
untuk mewakilinya di festival perdananya; ia ditunjuk sebagai Komandan Orde
Oranye Nassau, putra tertuanya seorang perwira dalam urutan itu.
Selanjutnya, ia juga menambahkan beberapa perjanjian tambahan untuk melengkapi
kontrak politik.
Kedatangan rombongan para
bangsawan dan putra raja-raja itu sebenarnya bukan tanpa masalah. Harry A Poeze
dalam buku Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600–1950
mencatat, pada Desember 1897 masalah tersebut dibicarakan di Majelis Rendah
Belanda. Dua puluh dua anggota Majelis mengajukan usul untuk menyediakan dana
sebesar f75.000 guna menyembut para “pembesar pribumi dan tokoh-tokoh lain dari
Hindia-Belanda pada waktu penobatan Sri Ratu”. Menteri Daerah Jajahan, Cremer,
semula tidak dapat menerima usul tersebut. Tanggapan terhadap masalah itu
adalah sebagai berikut.
“Mengenai kedatangan mereka itu sudah dilakukan pembicaraan dengan Pemerintah Hindia. Tidak ada maksud pada Pemerintah Hindia maupun cabinet untuk mengundang raja-raja atau kepala-kepala Pribumi datang ke sini; dan tidak ada juga desakan kepada mereka untuk datang. Kalau mereka datang kemari, maka mereka datang atas kehendak sendiri dan juga dengan biaya sendiri, itulah terutama pendapat Pemerintah Hindia. Kalau tidak, demikian dana yang diusulkan oleh para pengusul itu pun tidak bakal mencukupi, sebab sudah jelas dengan sendirinya bahwa raja-raja itu terbiasa melakukan perjalanan lengkap dengan kemegahan dan pengiringnya, dan biaya untuk itu tak akan tertutup oleh dana tersebut."
Ternyata hanya sepuluh orang
anggota Majelis yang menentang usul Cremer. Seluruh perkara dan argumen-argumen
yang dikemukakan Crremer memperlihatkan adanya pertimbangan “etis”, kecongkakan
imperial, dan kepelitan orang Belanda yang terkenal itu.
Demikianlah, akhirnya disetujui
susunan delegasi Hindia yang sangat kecil dan boleh dikata kurang representatif.
Susuhunan dari Solo mengirimkan saudara lelakinya, pangeran Ario Mataram, yang
berangkat ke Negeri Belanda bersama beberapa putranya yang masih muda belia.
Sultan Siak (Deli) datang juga, demikian pula dua putra Sultan Kutai dari
Kalimantan. Kedua putra Sultan itu, pada 1897, pernah beberapa bulan tinggal di
Negeri Belanda, dan rupanya merasa sangat senang dengan perjalanan itu,
sehingga mereka manfaatkan kesempatan yang baik itu untuk datang kembali.
Meskipun demikian, rombongan dari Hindia itu memperoleh sambutan cukup hangat.
Para pembesar pribumi itu
mengujungi berbagai objek menarik, berkeliling Eropa, dan mengagumi banyak hal
darinya. Bahkan, mereka sempatkan mewawancarai calon ratu dan Ibu Suri Emma.
Penobatan Ratu Wilhelmina
digambarkan penuh program dan protokol. Iring-iringan kuda, pembantu dan tata
letak sedemkian rupa. Para pembesar mengenakan mantel dengan dasi hitam.
Penobatan itu juga disertai
pameran nasional karya perempuan di Den Haag. Di situ dipamerkan berbagai
kerajinan rumah tangga dan kerja pabrik hasil karya perempuan, termasuk
pembatik dari Solo sampai wayang orang.
Pangeran dari Kutai masuk dalam
rombongan kereta kuda, yang setelah penobatan ikut keliling kota. Mereka ada di
kereta ketiga.
Penulis: Chai Siswandi
Editor: MS
_________
Keterangan gambar: Lukisan peristiwa penobatan Ratu Wilhelmina pada tahun 1898. Kalangan bangsawan kerajaan di wilayah Nusantara turut hadir seperti yang terlihat dalam lukisan ini: Aji Amidin gelar Aji Pangeran Mangkunegoro (1) dan Hasanudin gelar Aji Pangeran Sosronegoro (2) dari Kerajaan Kutai Kertanegara serta Raden Mas Kusumowinoto (3) dari Surakarta.
Sumber gambar: Pinterest
Sumber gambar: Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar