Selasa, 22 Januari 2019

Menggugat Hari Jadi Samarinda


Ini fenomena langka. Barangkali hanya Samarinda satu-satunya kota yang mempunyai Hari Jadi Kota dan Hari Ulang Tahun (HUT) Pemerintah Kota dalam satu tanggal. Pada 21 Januari 2019 Samarinda memperingati Hari Jadi Kota ke-351 dan HUT Pemkot ke-59. Namun, ada kontroversi di baliknya.


Penetapan hari lahir Pemkot tanggal 21 Januari 1960 memang memiliki landasan historis yang valid. Pada masa awal Demokrasi Terpimpin itu Kepala Daerah Istimewa (DI) Kutai Sultan Aji Muhammad Parikesit menyerahkan pemerintahannya kepada tiga kepala daerah tingkat II baru hasil pemekaran DI Kutai. Tiga daerah itu ialah Kabupaten Kutai, Kotapraja Samarinda, dan Kotapraja Balikpapan.

Walikota Kepala Daerah Tingkat (KDT) II Kotapraja Samarinda kala itu adalah Kapten Soedjono yang bersumpah jabatan sehari sebelumnya. Adapun Bupati Kutai dijabat Aji Raden Padmo sedangkan Walikota Balikpapan diemban Aji Raden Sayid Mohammad. Dengan upacara serah terima yang berlangsung di Istana Kesultanan Kutai di Tenggarong ini, maka sebenarnya momentum tanggal 21 Januari 1960 tak hanya hari lahir Pemkot Samarinda, tapi juga hari lahir Pemkab Kutai dan Pemkot Balikpapan.

Hanya, Pemkab Kutai (kini bernama Kutai Kartanegara) dan Pemkot Balikpapan tidak merayakan HUT Pemerintah Daerahnya. Kedua daerah ini mencukupkan diri dengan memperingati Hari Jadi Kotanya saja. Kutai Kartanegara punya Hari Jadi Kota Tenggarong pada 28 September 1782 sementara Kota Balikpapan dinyatakan berdiri 10 Februari 1897.

Sampai tahun 1988 Samarinda tidak pernah merayakan Hari Jadi Kotanya. Hal ini karena memang tidak ada data dan informasi akurat yang diketahui masyarakat mengenai riwayat asal usul berdirinya Samarinda. Kemudian, muncullah Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa Hari Jadi Kota Samarinda adalah tanggal 21 Januari 1668.

Mengapa HUT pemerintah dan HUT kota bisa bertepatan tanggalnya? Apakah tanggal 21 Januari 1668 yang diklaim sebagai hari kedatangan rombongan Bugis Wajo di Samarinda Seberang adalah fakta historis?

Ternyata, tanggal tersebut hanya prediksi. Tim penulis buku Merajut Kembali sejarah Kota Samarinda terbitan Pemkot (2004) mengakui, tanggal 21 Januari 1668 diperoleh dari estimasi penambahan 64 hari sejak tanggal terjadinya Perjanjian Bongaya, 18 November 1667.

Penetapan tahun 1668 ini makin kontroversial karena ditambahi cerita bahwa yang mendirikan Kota Samarinda adalah seseorang yang bernama La Mohang Daeng Mangkona. Disebutkan bahwa Mangkona merupakan satu dari anak buah La Maddukkelleng, Pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan. Mangkona berlayar dari Pasir menuju muara Sungai Mahakam atas perintah La Maddukkelleng. Masalahnya, La Maddukkelleng belum lahir pada tahun 1668. La Maddukkelleng baru lahir tiga dekade kemudian, tepatnya tahun 1700. Di sini terjadi anakronisme alias ketidakcocokan waktu dan pelaku.

Berikutnya, nama Daeng Mangkona tidak ditemukan dalam sumber arsip dan literatur primer yang kredibel. Beberapa sumber primer yang diklaim memuat namanya, ternyata hanya pencatutan yang tidak bertanggung jawab. Nama Mangkona hanya muncul dalam buku atau tulisan yang sifatnya sumber sekunder, ketiga, dan seterusnya.

Ada sebuah naskah saduran atau terjemahan Lontara Samarinda yang diklaim berdasarkan tulisan I Kirana Kapitan Ranreng Daeng Risompa. Naskah ini berisi riwayat kedatangan Bugis di Samarinda yang diklaim dipimpin Daeng Mangkona. Namun, publik tidak bisa mengaksesnya. Hal ini disebabkan naskah tersebut diklaim sebagai milik pribadi Moh Noor ARS. Selain itu, keberadaannya sebagai referensi bersifat tidak dipublikasikan. Moh Noor adalah pejabat Bidang Kebudayaan Kaltim era 60-70-an, wafat tahun 2000-an. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah tidak memiliki koleksi ini.

Selain versi Lontara Samarinda, sebenarnya asal usul Bugis di Samarinda juga tertulis dalam naskah “Salasila Bugis di Kutai”. Berbeda dengan Lontara, naskah Salasila ini bisa dijangkau publik. Isinya pun sudah ditransliterasikan ke aksara Latin dan diteliti oleh ilmuwan Belanda, Solco Walle Tromp pada tahun 1887. Hasil penelitiannya berupa karya tulis berjudul “Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai”. Tulisan berbahasa Belanda ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh antropolog Frieda Amran. Terjemahan plus saduran tersebut dipresentasikan dalam Seminar dan Dialog Internasional Kemelayuan Indonesia Timur di Universitas Hasanuddin, Makassar, 6 Oktober 2016.

Bertolak belakang dengan versi Lontara, Salasila Bugis secara jelas menyebutkan nama pimpinan Bugis yang meminta izin kepada Raja Kutai untuk bermukim di Samarinda adalah Anakhoda Latuji. Tidak ada nama Daeng Mangkona dalam naskah Salasila Bugis. Nama Latuji juga cocok dengan nama tokoh Bugis dalam surat perjanjian antara Bugis dengan Raja Kutai. Surat perjanjian ini diteliti oleh ahli sejarah Constantinus Alting Mees untuk keperluan disertasinya. Hasilnya, transliterasi surat tersebut dimuat dalam bukunya yang legendaris yang berjudul De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting, terbit tahun 1935.

Kembali ke sosok Moh Noor, publik perlu mengetahui rekam jejaknya sebagai penulis. Dalam konteks ini, Moh Noor pernah membuat kontroversi dalam hal penciptaan riwayat sejarah. Ketika menjabat Kepala Inspeksi Daerah Kebudayaan Kaltim, pria kelahiran Berau 1914 ini memimpin penerbitan majalah Kudungga tahun 1967 sebanyak empat edisi. Di majalah inilah kali pertama dimuat daftar lengkap raja yang memerintah di Kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman. Mohammad Asli Amin yang kala itu sedang menyusun skripsi bertema Kerajaan Kutai mengonfirmasi kepada Moh Noor perihal sumber primer susunan raja di Muara Kaman. Dalam hal ini, raja di Muara Kaman yang diketahui datanya hanya anak dan cucu Kudungga berdasarkan Prasasti Yupa serta beberapa dari manuskrip “Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara”. Moh Noor menjawab bahwa sumbernya adalah hasil ucapan dukun dalam sebuah upacara Balian. Tentu saja, ini cara heuristik (pengumpulan sumber sejarah) yang tidak dikenal dalam metode penelitian sejarah.

Demikian halnya dengan referensi yang dimiliki Moh Noor seputar cerita Daeng Mangkona sebagai pendiri Kota Samarinda. Kontennya berbeda jauh dengan hasil penelitian dua ilmuwan, S.W. Tromp dan C.A. Mees. Tetapi ironis, Pemerintah Kotamadya Samarinda tahun 1988 menjadikan narasi ini sebagai dasar penetapan Hari Jadi Kota Samarinda.

Kita berprasangka baik bahwa pada tiga dasawarsa silam para penyusun sejarah Kota Samarinda tidak mengetahui adanya naskah “Salasila Bugis di Kutai”. Karenanya, solusi dari polemik ini adalah perlunya eksekutif dan legislatif Kota Samarinda membatalkan Perda 1988. Lalu, sejarah Kota Samarinda ditelaah ulang serta direkonstruksi dengan metode historiografi. Sesungguhnya sejarah Samarinda tidak terbatas pada permulaan kedatangan orang Bugis ke Kutai.

Patut diperhatikan aspek kultur Banjar yang terbentuk dalam masyarakat Samarinda. Yang paling menonjol adalah bahasa Banjar sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) bagi semua suku di Samarinda. Dalam konteks ini, bahasa merupakan sebuah unsur kebudayaan yang menunjukkan identitas sebuah bangsa. Banjar sebagai pembentuk bahasa daerah Samarinda mengindikasikan hegemoni orang Banjar yang lebih lama daripada etnis lain dalam hal bermukim di Samarinda. Naskah klasik “Hikayat Banjar” juga mewartakan relasi antara imperium Banjar dengan Kerajaan Kutai (Samarinda termasuk dalam geopolitik Kutai) berlangsung sejak era Maharaja Suryanata kisaran abad ke-15.

Bahkan, tokoh wartawan tiga zaman Kaltim yang banyak menulis sejarah, Oemar Dachlan, menyebut "penduduk asli" bagi orang Banjar di Samarinda. Pernyataan tokoh kelahiran Samarinda 1913 ini dimuat dalam sebuah surat kabar di Jakarta terbitan 25 Juni 1987.

Penulisan sejarah memang dinamis dan tidak ada yang bersifat final. Revisi akan terus dilakukan seiring terungkapnya sumber yang tersembunyi dan tersingkapnya tabir yang menutupi sejarah. Sejarah yang dibelokkan, akan melurus pada waktunya.

Penulis: Muhammad Sarip

Artikel ini telah dimuat di Surat Kabar Harian Samarinda Pos edisi Selasa, 22 Januari 2019 halaman 9 dan 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Revitalisasi Pecinan Samarinda