Ini fenomena langka. Barangkali hanya Samarinda
satu-satunya kota yang mempunyai Hari Jadi Kota dan Hari Ulang Tahun (HUT)
Pemerintah Kota dalam satu tanggal. Pada 21 Januari 2019 Samarinda memperingati
Hari Jadi Kota ke-351 dan HUT Pemkot ke-59. Namun, ada kontroversi di baliknya.
Penetapan hari lahir Pemkot tanggal 21 Januari
1960 memang memiliki landasan historis yang valid. Pada masa awal Demokrasi
Terpimpin itu Kepala Daerah Istimewa (DI) Kutai Sultan Aji Muhammad Parikesit menyerahkan
pemerintahannya kepada tiga kepala daerah tingkat II baru hasil pemekaran DI
Kutai. Tiga daerah itu ialah Kabupaten Kutai, Kotapraja Samarinda, dan
Kotapraja Balikpapan.
Walikota Kepala Daerah Tingkat (KDT) II
Kotapraja Samarinda kala itu adalah Kapten Soedjono yang bersumpah jabatan
sehari sebelumnya. Adapun Bupati Kutai dijabat Aji Raden Padmo sedangkan
Walikota Balikpapan diemban Aji Raden Sayid Mohammad. Dengan upacara serah
terima yang berlangsung di Istana Kesultanan Kutai di Tenggarong ini, maka
sebenarnya momentum tanggal 21 Januari 1960 tak hanya hari lahir Pemkot
Samarinda, tapi juga hari lahir Pemkab Kutai dan Pemkot Balikpapan.
Hanya, Pemkab Kutai (kini bernama Kutai
Kartanegara) dan Pemkot Balikpapan tidak merayakan HUT Pemerintah Daerahnya.
Kedua daerah ini mencukupkan diri dengan memperingati Hari Jadi Kotanya saja.
Kutai Kartanegara punya Hari Jadi Kota Tenggarong pada 28 September 1782
sementara Kota Balikpapan dinyatakan berdiri 10 Februari 1897.
Sampai tahun 1988 Samarinda tidak pernah
merayakan Hari Jadi Kotanya. Hal ini karena memang tidak ada data dan informasi
akurat yang diketahui masyarakat mengenai riwayat asal usul berdirinya
Samarinda. Kemudian, muncullah Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1988 yang
menyatakan bahwa Hari Jadi Kota Samarinda adalah tanggal 21 Januari 1668.
Mengapa HUT pemerintah dan HUT kota bisa bertepatan
tanggalnya? Apakah tanggal 21 Januari 1668 yang diklaim sebagai hari kedatangan
rombongan Bugis Wajo di Samarinda Seberang adalah fakta historis?
Ternyata, tanggal tersebut hanya prediksi.
Tim penulis buku Merajut Kembali sejarah Kota
Samarinda terbitan Pemkot (2004) mengakui, tanggal 21 Januari 1668 diperoleh
dari estimasi penambahan 64 hari sejak tanggal terjadinya Perjanjian Bongaya,
18 November 1667.
Penetapan tahun 1668 ini makin kontroversial
karena ditambahi cerita bahwa yang mendirikan Kota Samarinda adalah seseorang
yang bernama La Mohang Daeng Mangkona. Disebutkan bahwa Mangkona merupakan satu
dari anak buah La Maddukkelleng, Pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan.
Mangkona berlayar dari Pasir menuju muara Sungai Mahakam atas perintah La
Maddukkelleng. Masalahnya, La Maddukkelleng belum lahir pada tahun 1668. La
Maddukkelleng baru lahir tiga dekade kemudian, tepatnya tahun 1700. Di sini
terjadi anakronisme alias ketidakcocokan waktu dan pelaku.
Berikutnya, nama Daeng Mangkona tidak ditemukan
dalam sumber arsip dan literatur primer yang kredibel. Beberapa sumber primer
yang diklaim memuat namanya, ternyata hanya pencatutan yang tidak bertanggung
jawab. Nama Mangkona hanya muncul dalam buku atau tulisan yang sifatnya sumber sekunder,
ketiga, dan seterusnya.
Ada sebuah naskah saduran atau terjemahan
Lontara Samarinda yang diklaim berdasarkan tulisan I Kirana Kapitan Ranreng
Daeng Risompa. Naskah ini berisi riwayat kedatangan Bugis di Samarinda yang
diklaim dipimpin Daeng Mangkona. Namun, publik tidak bisa mengaksesnya. Hal ini
disebabkan naskah tersebut diklaim sebagai milik pribadi Moh Noor ARS. Selain
itu, keberadaannya sebagai referensi bersifat tidak dipublikasikan. Moh Noor
adalah pejabat Bidang Kebudayaan Kaltim era 60-70-an, wafat tahun 2000-an.
Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah tidak memiliki koleksi ini.
Selain versi Lontara Samarinda, sebenarnya asal
usul Bugis di Samarinda juga tertulis dalam naskah “Salasila Bugis di Kutai”.
Berbeda dengan Lontara, naskah Salasila ini bisa dijangkau publik. Isinya pun
sudah ditransliterasikan ke aksara Latin dan diteliti oleh ilmuwan Belanda,
Solco Walle Tromp pada tahun 1887. Hasil penelitiannya berupa karya tulis
berjudul “Eenige Mededeelingen
Omtrent de Boeginezen van Koetai”. Tulisan berbahasa Belanda ini kemudian
diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh antropolog Frieda Amran. Terjemahan plus
saduran tersebut dipresentasikan dalam Seminar dan Dialog Internasional
Kemelayuan Indonesia Timur di Universitas Hasanuddin, Makassar, 6 Oktober 2016.
Bertolak belakang
dengan versi Lontara, Salasila Bugis secara jelas menyebutkan nama pimpinan
Bugis yang meminta izin kepada Raja Kutai untuk bermukim di Samarinda adalah Anakhoda
Latuji. Tidak ada nama Daeng Mangkona dalam naskah Salasila Bugis. Nama Latuji
juga cocok dengan nama tokoh Bugis dalam surat perjanjian antara Bugis dengan
Raja Kutai. Surat perjanjian ini diteliti oleh ahli sejarah Constantinus Alting
Mees untuk keperluan disertasinya. Hasilnya, transliterasi surat tersebut
dimuat dalam bukunya yang legendaris yang berjudul De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met
Toelichting, terbit tahun 1935.
Kembali ke sosok Moh Noor, publik perlu mengetahui
rekam jejaknya sebagai penulis. Dalam konteks ini, Moh Noor pernah membuat
kontroversi dalam hal penciptaan riwayat sejarah. Ketika menjabat Kepala
Inspeksi Daerah Kebudayaan Kaltim, pria kelahiran Berau 1914 ini memimpin
penerbitan majalah Kudungga tahun
1967 sebanyak empat edisi. Di majalah inilah kali pertama dimuat daftar lengkap
raja yang memerintah di Kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman. Mohammad Asli
Amin yang kala itu sedang menyusun skripsi bertema Kerajaan Kutai mengonfirmasi
kepada Moh Noor perihal sumber primer susunan raja di Muara Kaman. Dalam hal
ini, raja di Muara Kaman yang diketahui datanya hanya anak dan cucu Kudungga berdasarkan
Prasasti Yupa serta beberapa dari manuskrip “Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara”. Moh Noor
menjawab bahwa sumbernya adalah hasil ucapan dukun dalam sebuah upacara Balian.
Tentu saja, ini cara heuristik (pengumpulan sumber sejarah) yang tidak dikenal
dalam metode penelitian sejarah.
Demikian halnya dengan referensi yang dimiliki
Moh Noor seputar cerita Daeng Mangkona sebagai pendiri Kota Samarinda. Kontennya
berbeda jauh dengan hasil penelitian dua ilmuwan, S.W. Tromp dan C.A. Mees.
Tetapi ironis, Pemerintah Kotamadya Samarinda tahun 1988 menjadikan narasi ini
sebagai dasar penetapan Hari Jadi Kota Samarinda.
Kita berprasangka baik bahwa pada tiga
dasawarsa silam para penyusun sejarah Kota Samarinda tidak mengetahui adanya
naskah “Salasila Bugis di Kutai”. Karenanya, solusi dari polemik ini adalah
perlunya eksekutif dan legislatif Kota Samarinda membatalkan Perda 1988. Lalu,
sejarah Kota Samarinda ditelaah ulang serta direkonstruksi dengan metode
historiografi. Sesungguhnya sejarah Samarinda tidak terbatas pada permulaan
kedatangan orang Bugis ke Kutai.
Patut diperhatikan aspek kultur Banjar yang
terbentuk dalam masyarakat Samarinda. Yang paling menonjol adalah bahasa Banjar
sebagai bahasa pergaulan (lingua franca)
bagi semua suku di Samarinda. Dalam konteks ini, bahasa merupakan sebuah unsur
kebudayaan yang menunjukkan identitas sebuah bangsa. Banjar sebagai pembentuk
bahasa daerah Samarinda mengindikasikan hegemoni orang Banjar yang lebih lama
daripada etnis lain dalam hal bermukim di Samarinda. Naskah klasik “Hikayat
Banjar” juga mewartakan relasi antara imperium Banjar dengan Kerajaan Kutai
(Samarinda termasuk dalam geopolitik Kutai) berlangsung sejak era Maharaja
Suryanata kisaran abad ke-15.
Bahkan, tokoh wartawan tiga zaman Kaltim yang
banyak menulis sejarah, Oemar Dachlan, menyebut "penduduk asli" bagi orang
Banjar di Samarinda. Pernyataan tokoh kelahiran Samarinda 1913 ini dimuat dalam
sebuah surat kabar di Jakarta terbitan 25 Juni 1987.
Penulisan sejarah memang
dinamis dan tidak ada yang bersifat final. Revisi akan terus dilakukan seiring
terungkapnya sumber yang tersembunyi dan tersingkapnya tabir yang menutupi
sejarah. Sejarah yang dibelokkan, akan
melurus pada waktunya.
Penulis: Muhammad Sarip
Artikel ini telah dimuat di Surat Kabar Harian Samarinda Pos edisi Selasa, 22 Januari 2019 halaman 9 dan 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar