Lima abad yang lalu, jukung memasuki Sungai Mahakam. Perahu khas Kalimantan itu
mengangkut para utusan Pangeran Samudra. Mereka datang dari Banjarmasin yang
kala itu menjadi pangkalan militer kubu Pangeran Samudra alias Pangeran
Suriansyah.
Pada tahun 1525 itu Pangeran Banjar mengirim
orang kepercayaannya ke Kerajaan Kutai Kertanegara yang masih beribu kota di
Tepian Batu (Kutai Lama). Banjar meminta partisipasi Kutai dalam upaya Suriansyah
memulihkan legitimasi takhta Kerajaan Banjar yang dikudeta oleh Pangeran
Tumenggung. Raja Kutai kala itu, yakni Aji Raja Makota, menyanggupi permintaan
Banjar. Riwayat ini diinterpretasikan dari manuskrip kuno “Hikayat Banjar” yang naskahnya disalin dari
tradisi lisan masyarakat Banjar atas prakarsa Sir Stamford Rafles pada awal abad ke-19.
Keberhasilan pelayaran jukung dari Banjarmasin ke Kutai pada
masa itu ditopang oleh pengetahuan orang Banjar mengenai teknologi alat
transportasi air yang sudah berakar lama. Kondisi alam dan geografis di selatan
Kalimantan yang banyak sungai membuat masyarakat Banjar purba berkebudayaan
air. Mereka mendirikan permukiman dan menggantungkan penghidupannya pada dunia
perairan. Karenanya, transportasi air pun menjadi pilihan realistis yang
ditekuni.
Bagi orang Banjar, ber-jukung dari Banjarmasin ke Kutai sejauh
lebih dari 500 mil pada masa itu adalah yang biasa. Ini karena nenek moyang
Banjar dari unsur Maanyan sekitar tahun 650 atau 700 Masehi sudah melanglang
buana melintasi samudra luas. Mereka ada yang sampai ke Pulau Madagaskar dekat
Benua Afrika. Mereka kemudian menetap di sana dan menjadi nenek moyang orang
Malagasi. Konklusi ini diungkap dari penelitian ahli bahasa (linguistik) pada
1990.
Berdasarkan realita ini, timbul
pertanyaan, bagaimana sebenarnya teknologi jukung?
Seorang Denmark bernama Erik Petersen meneliti jukung di Sungai Barito. Pensiunan arsitektur itu masuk ke
pedalaman Kalimantan mengikuti proses pembuatan jukung dari kayu bulat hingga menjadi sarana transportasi air.
Pria kelahiran 1930 itu menerbitkan hasil
risetnya berjudul Jukung Boats from the
Barito Basin, Borneo. Pada tahun 2000 Erik mengangkut jukung ke negaranya untuk dipamerkan di Viking Ship Muesum,
Roskilde Denmark. Ini adalah apresiasi luar biasa dari dunia internasional
tentang keunggulan orang Banjar dalam membuat alat angkutan air.
Seiring perkembangan industri, teknologi jukung turut mengalami dinamika. Pada
masa dikenalnya mesin dinamo, jukung
sudah ada yang bermesin. Jukung
sendiri beraneka ragam bentuk dan ukurannya, dari yang kecil sampai besar.
Penamaan jukung pun berkembang, seperti
adanya kelotok dan tambangan sebagai jukung
jasa angkutan di sungai.
Penyebaran orang Banjar di tanah Kutai
turut memopulerkan eksistensi jukung
di Sungai Mahakam. Jukung pun
berdampingan dengan gubang, yakni sampan buatan orang Kutai. Dari proses
pembuatan jukung yang dalam bahasa
Banjar diistilahkan “pengapihan” lahirlah nama Kampung Sungai Kapih di bagian
selatan Samarinda. Penduduk di pesisir Mahakam dari Kutai Lama hingga Samarinda
rata-rata memiliki jukung sebagai
alat mobilisasi mereka. Sebagian masyarakat mempunyai jukung paiwakan sebagai sarana
mata pencaharian nelayan.
Khusus di Samarinda, pada era kejayaan
ekspor kayu gelondongan hingga industri kayu lapis (1960-an sampai 1990-an),
tak hanya jukung pribadi yang
berseliweran di Mahakam. Banyak juga jukung
berjenis kelotok sebagai sarana transportasi umum, selain tambangan yang
konvensional.
Menjelang akhir abad ke-20 kultur
masyarakat Samarinda mulai berubah dari berperadaban air menjadi “orang darat”.
Jukung, kelotok, tambangan mulai
berkurang. Rumah-rumah penduduk tidak lagi menghadap ke sungai. Sungai tidak
lagi penting sebagai jalur transportasi. Bahkan, sungai menjadi tempat
pembuangan sampah terpanjang di Samarinda. Kejayaan era sungai dipandang hanya
kenangan masa lalu.
Masyarakat darat yang melupakan keunggulan
peradaban air dan abai terhadap penjagaan kualitas sungai, merasakan dampaknya.
Kota Samarinda sering kali digenangi air dalam tempo berjam-jam jika hujan
lebat. Air yang hakikatnya sumber
kehidupan manusia berubah jadi malapetaka.
Jukung adalah sejarah
peradaban manusia yang menghormati keagungan perairan. Sejak ribuan tahun silam
jukung berjaya di sungai dan lautan.
Sudah ratusan tahun jukung mewarnai
Mahakam terutama di wilayah Kutai, termasuk Samarinda. Walaupun kini jukung tergerus zaman, Mahakam harus
tetap dimuliakan demi kontinuitas kehidupan.
Memuliakan Mahakam artinya memperbaiki
kualitasnya, tak hanya sebagai jalur pariwisata, tapi juga mengembalikan
filosofinya sebagai identitas dan sumber kehidupan makhluk Tuhan. Tak hanya
manusia, makhluk Tuhan berwujud mamalia pesut mahakam pun berhak kembali hidup
di Mahakam Samarinda—sesuatu hal yang menemui batasnya pada penghujung era
70-an.
Kita patut mengapresiasi adanya kelompok
masyarakat pegiat lingkungan yang peduli pada perbaikan kualitas Sungai Karang
Mumus. Kepedulian mereka tampak lebih berkualitas karena yang ditonjolkan ke
publik adalah substansi kegiatannya, bukan sarana pembentukan citra diri
personelnya. Mereka pun lebih pada tindakan yang berkesinambungan, tak sekadar
seremoni pada masa-masa perhelatan elektoral politik.
Sesungguhnya sejarah lebih dari sekadar
nostalgia masa lalu. Makna sejarah lebih dalam daripada konteks tontonan
festival dan seremoni pendongkrak elektabilitas politik. Pengetahuan dan
literasi sejarah berguna sebagai pembelajaran bagi generasi masa kini supaya
dapat memperbaiki paradigma dan mempertahankan ekosistemnya.
Penulis: Muhammad Sarip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar