Muhammad Sarip dan Nabila Nandini, narasumber dari
Lasaloka-KSB dan tim pengusul Pahlawan Nasional Kaltim
Abdoel Moeis Hassan.
Sumber foto: HMPS FKIP Unmul.
|
Sedikitnya ada tiga figur perempuan Kaltim
tempo dulu yang punya kiprah cemerlang. Ketiganya yaitu Salbiah, Djoemantan Hasjim,
dan Fatimah. Hal ini diungkap oleh Muhammad Sarip dalam Seminar Sejarah Lokal
Refleksi Hari Kartini 2019 di Rektorat Universitas Mulawarman Samarinda (18/4/2019).
Salbiah adalah
aktivitas pergerakan kebangsaan di Samarinda. Perempuan kelahiran Samarinda
1920-an menjadi anggota Roekoen Pemoeda Indonesia (Roepindo) pengurus bagian
keputrian. Organisasi kepemudaan kebangsaan ini didirikan oleh Abdoel Moeis
Hassan pada
Mei 1940. Roepindo bertujuan menghimpun dan membangkitkan semangat kaum muda serta
menanamkan kesadaran berbangsa, berbahasa, dan bertanah air Indonesia.
Pada
masa Revolusi Kemerdekaan Salbiah bersama
Moeis Hassan dan
Oemar Dachlan mengikuti Kongres Gabungan Pemuda Indonesia Seluruh Kalimantan
(Gappika) di Barabai. Kongres Maret 1948 ini mengajukan mosi penghapusan SOB (keadaan
bahaya) karena SOB dianggap menyempitkan kebebasan bergerak rakyat.
Adapun Djoemantan Hasjim
adalah legislator perempuan pertama DPRD Kaltim ketika provinsi ini baru
dibentuk. Ia merupakan satu-satunya perempuan di lembaga parlemen daerah
tersebut. Djoemantan menjadi anggota DPRD Peralihan Kaltim sebagai
utusan Masyumi, sebuah partai berasas Islam
yang didominasi orang-orang Muhammadiyah. Perempuan
kelahiran Samarinda, 8 Desember 1930 itu adalah aktivitas Aisiyah, sebuah organ
yang berafiliasi ke Muhammadiyah.
Kiprah Djoemantan di lembaga wakil rakyat bukanlah sebagai figuran atau sekadar pelengkap kuota. Djoemantan memiliki kapasitas sebagai organisatoris sekaligus orator ulung. Di antara aksi populernya adalah ketika ia mendesak Ketua DPRD Kaltim Azis Samad pada Mei 1959 untuk memimpin sidang yang memutuskan masalah pemakzulan Kepala Daerah Inche Abdoel Moeis (bukan Abdoel Moeis Hassan).
Figur
berikutnya, Fatimah adalah aktivis Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan Roepindo. Perempuan
Samarinda kelahiran 8 Juni 1928 itu memiliki semangat belajar yang tinggi. Fatimah
belajar ilmu agama di rumah orang tuanya
dengan sistem privat, yakni guru yang datang ke rumah. Fatimah lulus sekolah
tingkat dasar zaman Belanda (HIS) setahun sebelum tentara Jepang menduduki
Samarinda 1942.
Pada masa pencanangan Dwi Komando Rakyat
(Dwikora) oleh
Presiden Sukarno 1963,
Fatimah menjadi Komandan Korps Sukarelawati Kaltim. Dari latihan kemiliteran di
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Jakarta, Fatimah mempunyai keterampilan menggunakan senjata api.
Hal itu sebagai sebagai persiapan perang versus Neo-Kolonialisme-Imperialisme
(Nekolim).
Dari tiga figur perempuan tersebut, kita bisa melihat bahwa kesetaraan
hak dan peranan perempuan dan laki-laki di Kaltim tidak diskriminatif.
Dilanjutkannya, perempuan secara umum tidak mesti lagi mengejar 3B
standar kesempurnaan perempuan ala kontes kecantikan beauty, brain, behavior.
Ketiga faktor itu saja tidak cukup untuk mendorong kemajuan zaman dan perbaikan
kondisi kaum perempuan.
Menurut Nabila, Kartini
Milenial adalah gadis-gadis muda Indonesia yang luas dan luwes, cerdas berpikir
dan bebas menyerap ilmu tapi tetap mengenal identitasnya sebagai bagian dari
bangsa dan akan menjadi kebanggaan Indonesia.
Dalam seminar ini, Sarip dan
Nabila meluncurkan sebuah buku berjudul Perempuan di Kalimantan Timur Tempo
Doeloe. Materi buku inilah yang dipresentasikan dalam seminar yang digelar
oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Unmul ini. Selain sesama tim
pengusul Pahlawan Nasional, mereka berdua adalah pengurus Lembaga Studi Sejarah
Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB).
Sebelumnya,
Plt. Sekretaris Daerah Provinis Kaltim Dr. Hj, Meiliana lebih dulu menyampaikan
makalah bertajuk “Peran Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Isu Feminisme”. Seminar
dimoderatori oleh kurator Galeri Samarinda Bahari Ellie Hasan dan dibuka secara resmi oleh Rektor Unmul Prof.
Masjaya.
(AR)
Narasumber dari Lasaloka-KSB: Muhammad Sarip dan Nabila Nandini, bersama panitia Seminar Sejarah Lokal Refleksi Hari Kartini 2019. Sumber foto: HMPS FKIP Unmul. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar