Tanggal
16 Juli 2019, tepat 140 tahun silam Samarinda dikunjungi Carl Bock. Nama Carl
Bock tersohor sebagai penulis buku legendaris mengenai penduduk Pulau
Kalimantan. Buku itu fenomenal karena judulnya yang horor, yakni The
Head-Hunters of Borneo alias
Para Pemburu Kepala Kalimantan. Bukunya terbit di London pada 1882 atau tiga
tahun usai ekspedisinya ke Pulau Kalimantan.
Carl
Bock penjelajah berkebangsaan Norwegia. Kala itu usianya 30 tahun. Kedatangannya
ke Samarinda mengemban tugas dari Gubernur
Jenderal Hindia Belanda untuk melakukan penelitian di wilayah tenggara
Kalimantan. Ia harus menyusun laporan tentang kondisi daratan dan para
penduduknya serta mengumpulkan spesimen.
Bock berangkat dari Batavia (kini Jakarta) pada 20
Juni 1879. Ia transit di Surabaya, kemudian tiba di Makassar pada 6 Juli.
Setelah delapan hari berdiam di daerah Pulau Sulawesi itu, Bock berangkat menyeberangi Selat
Makassar. Diperlukan dua hari perjalanan untuk sampai ke muara Sungai Mahakam.
Bock
tiba Palaran pada sore hari 16 Juli 1879.
Kapal Bock langsung meneruskan perjalanan ke Pelabuhan Samarinda. Ia menginap
di rumah seorang Tionghoa bernama Kwé Ké Hiang di kawasan Pecinan (kini Jl. Yos
Sudarso dan sekitarnya).
Bock
menetap di Samarinda selama empat hari guna meneliti situasi dan kondisi di
kota pusat perdagangan Kesultanan Kutai Kertanegara itu. Kota Tepian 140 tahun
lalu tentu saja berbeda jauh dengan yang sekarang.
Menurut
pengamatan Bock,
kala itu dataran pesisir Sungai
Mahakam penuh
dengan pohon nipah. Muara Sungai Mahakam disebutnya
bercabang tujuh belas. Dalam penelusurannya, ia merasakan
suasana Samarinda yang memprihatikan. “Ini adalah tempat paling menyedihkan yang pernah
saya lihat; penduduk asli dan bangunannya sama-sama dalam kemelaratan,”
tulis Bock dalam diary-nya.
Saat
itu teknologi kamera foto sedang dirintis. Bock tidak mempunyai kamera untuk
merekam pemandangan yang dilihatnya. Tetapi, Bock mahir menggambar. Ada
beberapa gambar yang dibuatnya mendeskripsikan situasi di Samarinda dan
keunikan penduduk serta budaya Kalimantan.
Ketika
di Samarinda, Bock mencatat, rumah penduduk rata-rata berkonstruksi bambu. Atapnya
dari daun nipah. Tiangnya setinggi
8–10 kaki. Hanya sedikit rumah yang berdinding papan. Rumah rakit masih ada di
tepi Mahakam. Bock
juga melihat adanya nisan-nisan makam di sekitar perumahan yang susunannya tidak teratur. Meskipun begitu, setiap rumah mempunyai minimal sebuah perahu
untuk transportasi.
Di
antara perumahan rakyat yang tradisional terlihat pemandangan yang kontras. Ada
dua rumah mewah dan megah yang terlihat dari sungai. Yang pertama, rumah penginapan Sultan Kutai yang
bertingkat dua dengan atap seng. Di sekeliling tingkat dua terdapat beranda
yang panjang. Di samping rumah terdapat gardu penjagaan sebagai pertahanan kota yang
dipersenjatai selusin meriam yang sudah berkarat dan mortir kuno.
Rumah megah kedua adalah kediaman Pangeran
Bendahara. Sultan
Kutai Aji Muhammad Sulaiman mengangkat Pangeran Bendahara sebagai kepala polisi di
Samarinda untuk mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban. Pangeran Bendahara juga multifungsi sebagai Menteri Luar Negeri Kesultanan, gubernur (kepala
pemerintahan) daerah hilir, sekaligus juru dakwah agama Islam.
Pangeran Bendahara adalah keturunan Arab yang datang dari pantai barat
Kalimantan. Menurut penelitian S.C. Knappert dalam Beschrijving
Van De Onderafdeeling Koetei (1905),
nama asli Pangeran Bendahara adalah Syarif Abdurachman bin Segaf. Tokoh ini dikenal
pula sebagai penggagas berdirinya Masjid Sirathal Mustaqiem di Samarinda
Seberang.
Sejarawan Solco Walle Tromp pada 1887
mengungkap peran penting Pangeran Bendahara. Dalam penelitiannya yang berjudul
“Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai”, diuraikan latar belakang dan penyebab
konflik horizontal antarwarga di Samarinda Seberang pada pertengahan abad
ke-19.
Semula, Sultan Kutai menunjuk seorang
Banjar bernama Encik Miril untuk menjadi kepala polisi di Samarinda. Selama
tujuh bulan Miril belum menuntaskan tugasnya hingga kehadiran Syarif
Abdurachman yang mengubah situasi. Sultan mengangkat Syarif Abdurahchman
sebagai kepala polisi menggantikan Miril. Konflik dapat diatasi. Sultan pun menyetujui
saran Pangeran Bendahara untuk menghapuskan lembaga kesukuan bernama Pua Ado di
Samarinda Seberang.
Tanggal 20
Juli 1879 Bock meninggalkan Samarinda. Ia menuju ke Tenggarong dan hulu Mahakam.
Misi ekspedisinya masih berlanjut untuk penelitian terhadap orang Dayak.
Membaca catatan
sejarah bukan sekadar nostalgia atau mengenang masa lalu belaka. Ada jejak
berharga yang menjadi pijakan solusi bagi problematik masa kini. Sejarah yang
ditulis Bock hampir satu setengah abad silam mengajarkan warga Samarinda untuk
sigap menghadapi naiknya permukaan air hingga menggenangi daratan alias calap.
Laporan Bock
mengisyaratkan bahwa sejak dulu penduduk Samarinda menyadari bahwa daratannya
rendah, serendah Sungai Mahakam dan cabangnya seperti Karang Mumus. Karenanya, calap
atau kondisi terendamnya daratan adalah peristiwa yang sudah diantisipasi agar
rumah tidak tenggelam. Caranya dengan membangun rumah bertiang tinggi atau
konsep rumah panggung. Namun, dalam tiga dekade terakhir ini, rumah dan
bangunan di Samarinda lazim dibangun dengan fondasi yang menutup muka bumi memakai
konstruksi beton. Tanah rawa dan areal peresapan air pun ditimbun.
Istilah
lokal calap sudah lama akrab bagi masyarakat Samarinda, jauh sebelum maraknya
pertambangan batu bara dan pembangunan perumahan di kawasan utara ibu kota
Kalimantan Timur awal abad ke-21. Banjir besar 1998 juga tidak disebabkan
karena tambang.
Pada situasi
tertentu, kita cukup realistis apabila bisa berdamai dengan alam. Kepemilikan
atau keberadaan perahu di setiap rumah yang rawan banjir, adalah hal yang
rasional. Dulu saja, walaupun dikatakan Bock penduduk Samarinda melarat, setiap
rumah mempunyai perahu. Kepemilikan perahu atau jukung adalah keniscayaan bagi
orang Samarinda karena kotanya banyak diiris anak-anak dan cabang Sungai
Mahakam.
Dengan
begitu, selesaikah masalah banjir di ibu kota Kaltim? Tentu saja belum.
Penyelesaian masalah banjir dan perbaikan tata kota memerlukan pemimpin bijaksana
yang super tegas. Bumi Samarinda yang tanahnya sama rendah ini, tidak
selayaknya diserahkan kepada kaum pemilik modal yang merusak lingkungan.
Samarinda
tempo dulu sejak zaman kerajaan adalah kota pusat perniagaan bagi warga Kaltim.
Samarinda memang sentral perdagangan, tapi bukan lantas menjadi kota yang
buminya diperdagangkan secara kemaruk.
Sejarah yang
dicatat Carl Bock memberi kita pelajaran.
Penulis: Muhammad Sarip
Artikel ini telah diterbitkan Surat Kabar Harian Samarinda Pos edisi Selasa, 6 Agustus 2019 halaman 9 & 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar