Tujuh puluh delapan tahun silam, pada tanggal 3 Februari 1942, balatentara Jepang bergerak menuju Samarinda dari Sanga-Sanga. Pagi harinya situasi kota Samarinda sepi karena sebagian penduduk mengungsi akibat kekhawatiran terjadi pertempuran dahsyat atau pembombardiran kota oleh pesawat tempur Jepang.
Penduduk mendapat kabar bahwa tentara Jepang sudah menguasai Sanga Sanga dan itu berarti Samarinda pasti akan diserang juga oleh Jepang. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti. Rombongan pertama Heitasan (prajurit) Jepang yang tiba di pelabuhan Samarinda dengan menumpangi kapal pendarat berukuran kecil pada pukul 1 siang, menunjukkan trik sikap bersahabat dengan rakyat. Akibatnya, rakyat menyoraki dengan pekikan "Banzai!" yang bermakna "Hidup!" sampai sepanjang jalan menuju kantor pemerintahan Belanda. Hingga pukul 3 sore serdadu Jepang sudah banyak yang tiba di Samarinda.
Penduduk mendapat kabar bahwa tentara Jepang sudah menguasai Sanga Sanga dan itu berarti Samarinda pasti akan diserang juga oleh Jepang. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti. Rombongan pertama Heitasan (prajurit) Jepang yang tiba di pelabuhan Samarinda dengan menumpangi kapal pendarat berukuran kecil pada pukul 1 siang, menunjukkan trik sikap bersahabat dengan rakyat. Akibatnya, rakyat menyoraki dengan pekikan "Banzai!" yang bermakna "Hidup!" sampai sepanjang jalan menuju kantor pemerintahan Belanda. Hingga pukul 3 sore serdadu Jepang sudah banyak yang tiba di Samarinda.
Tampaknya, propaganda Jepang yang didengarkan rakyat melalui siaran Radio Tokyo sejak awal pecahnya Perang Pasifik bahwa Jepang melakukan perang suci Asia Timur Raya guna membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda cukup dipercaya sebagian rakyat. Apalagi siaran disampaikan oleh seorang warga Samarinda bernama Oemar Barack, mahasiswa Wasseda University Tokyo, dengan suara menggelegar untuk membangkitkan semangat nasionalisme anti Belanda.
Oemar Barack sendiri berpihak kepada Jepang, di antara alasan logisnya adalah kebencian terhadap Belanda yang menerapkan imperialisme modern di Samarinda sehingga para pedagang pribumi seperti keluarga Barack yang mendirikan Kampung HBS tereliminasi dari aktivitas perdagangan dan digantikan dengan etnis Tionghoa yang disokong Belanda.
Sementara itu, para pejabat Belanda duduk bersila di atas rumput halaman Kantor Assistent Resident. Di belakangnya berderet puluhan pegawai negeri berkebangsaan Indonesia. Tepat di depan duduknya Assistent Resident, ditancapkan sebuah bambu yang dipasangi bendera merah-putih-biru milik Belanda dengan posisi sangat miring sehingga ujung bendera menyapu tanah. Hal ini dilakukan sebagai isyarat menyerah tanpa perlawanan guna menyelamatkan nyawa mereka. Dengan sikap tersebut, tidak terjadi kontak senjata antara Jepang dan Belanda di Samarinda pada hari itu. Ratusan penduduk termasuk Oemar Dachlan yang berprofesi sebagai wartawan menyaksikan proses penyerahan kekuasaan Belanda atas Samarinda kepada Jepang.
Sumur galinya belum tampak, nih?
BalasHapus