© Muhammad Sarip
Etnik dan kultur Betawi di DKI Jakarta disinyalir hampir tinggal nama belaka. Bagaimana dengan suku asli di Kalimantan Timur kelak di Ibu Kota Nusantara?
Sudah kadung populer narasi bahwa suku Betawi di Jakarta kian tergusur. Budaya asli Betawi di ambang kepunahan. Terlebih ketika memasuki dekade kedua dan ketiga abad ke-21. Pembangunan fisik dan modernisasi di ibu kota Republik Indonesia ditengarai sebagai biangnya.
Status Daerah Khusus Ibu kota bagi Jakarta kini bersiap ditanggalkan. DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada 18 Januari 2022. Presiden Joko Widodo kemudian menandatangani UU IKN pada 15 Februari 2022. Produk UU Nomor 3 Tahun 2022 ini mengesahkan pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Pasal 1 UU IKN menamai ibu kota baru dengan Nusantara.
Ungkapan gusur dan punah kemudian menular ke Kalimantan Timur. Suku-suku asli di provinsi yang bersemboyan bahasa Banjar “Ruhui Rahayu” ini dikhawatirkan bisa tereliminasi karena efek samping dari megaproyek pemindahan IKN.
Terlepas dari kritikan pada aspek politik, hukum, ekonomi, linimasa, dll untuk gagasan pemindahan IKN, ada satu aspek yang mendukung berhentinya status Jakarta sebagai IKN. Dari aspek sejarah, pemindahan IKN dari Jakarta memang suatu keharusan.
Saat VOC dan Kerajaan Belanda masih menguasai Kepulauan Nusantara, sejumlah gubernur jenderal sudah berupaya memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta yang kala itu bernama Batavia. Pertimbangan lingkungan, sosial, militer pada kota di bagian barat sisi pantai utara Pulau Jawa ini tidak lagi layak sebagai pusat otoritas. Namun, ide pemindahan ibu kota oleh kolonialis urung terlaksana.
Ketika otoritas politik di bekas Hindia Belanda beralih ke pemerintahan Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, status IKN di Jakarta hanya berdurasi sekitar 4,5 bulan. Ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta per 4 Januari 1946. Momen HUT RI 17 Agustus 1950 menandai kembalinya IKN ke Jakarta. Dinamika pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, hingga Era Reformasi juga memunculkan wacana pemindahan IKN.
Kebijakan serius tentang pemindahan IKN ditampakkan secara politis dengan pengumuman Presiden Joko Widodo pada 26 Agustus 2019 tentang lokasi baru IKN di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim. Persoalan risiko dan dampak sosial budaya di Kaltim mencuat. Namun, Bappenas dalam dokumen presentasinya tahun 2019 menyatakan bahwa potensi konflik sosial di Kaltim rendah, memiliki budaya terbuka terhadap pendatang, dan memiliki dampak negatif minimal terhadap komunitas lokal.
Meski begitu, sejumlah cendekiawan memperingatkan potensi gangguan terhadap komunitas lokal atau masyarakat adat di Kaltim termasuk unsur kebudayaannya. Tindakan menghindari Jakarta yang kompleks permasalahannya, kata Prof. Purnawan Basundoro dalam catatan opininya di sebuah media cetak tertanggal 24 Januari 2022, jangan sampai mengulangi hal yang pernah terjadi di ibu kota lama. Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Airlangga itu menyebut, terjadi peminggiran budaya Betawi sampai pada titik yang paling rendah. Karena itu, IKN Nusantara harus menjamin bahwa penghormatan terhadap kearifan lokal bisa berjalan dengan baik.
Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa pada 19 Januari 2022 menyatakan, infrastruktur IKN Nusantara dirancang untuk 1,5 juta penduduk. Kelak migrasi jutaan penduduk dari kawasan IKN lama ke IKN Nusantara akan menampakkan betapa dominannya kelompok urban pendatang ketimbang komunitas lokal yang minoritas.
Prof. Bagong Suyanto di media cetak 20 Januari 2022 menyatakan, kehadiran para pendatang di sebuah wilayah tidak hanya berdampak secara ekonomi. Ada juga tawaran gaya hidup baru yang lebih permisif, pola hubungan yang lebih kontraktual, yang kemungkinan berbeda dengan adat istiadat, norma, dan nilai masyarakat lokal. Penetrasi budaya urban ke wilayah rural di sekitar IKN Nusantara, menurut Dekan FISIP Unair ini, berpotensi menimbulkan gegar budaya.
Multikulturalisme di IKN Nusantara
Pembahasan tentang istilah suku asli di Kalimantan Timur serupa dengan konstruksi penduduk asli (native) dan pendatang di belahan bumi manapun. Timbul perdebatan yang tak kunjung mencapai finalisasi. Ada pihak intern (insider/orang dalam) yang memiliki kedekatan emosional dan tanggung jawab kultural sehingga memerlukan konstruksi etnis asli dan pendatang di Kaltim. Sedangkan pihak ekstern memandang narasi entitas asli dan migran secara berbeda dari perspektif arkeologis, politis, dan lain sebagainya.
Terlepas dari dialektika itu, realitas pada masyarakat Kaltim membentuk frasa suku asli dan suku pendatang. Etnis asli Kaltim dapat diklasifikasikan dalam lima suku utama, yaitu Banjar, Kutai, Dayak, Paser, dan Tidung. Kelima etnis ini populer dengan akronim Bakudapati.
Masing-masing suku utama ini terbagi lagi dalam beberapa sub-etnik. Ada varian suku Banjar Samarinda di ibu kota Kaltim. Sementara Kutai terdiri atas Kutai Tenggarong, Kutai Kota Bangun, Kutai Muara Ancalong, Kutai Muara Pahu, Balik, dll. Begitu pula Dayak, ada Tunjung, Benuaq, Kenyah, Bahau, Basap, dll.
Secara statistik sebenarnya kuantitas penduduk suku asli di Kaltim tidak lebih dominan ketimbang etnis pendatang. Beberapa suku yang dikategorikan sebagai pendatang di Kaltim antara lain Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, Wajo, Buton, Toraja, Tionghoa, Bali, Batak, Manado, Timor, dll.
Samarinda merupakan satu dari kota penyangga IKN Nusantara. Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara yang diterbitkan Kementerian PPN/Bappenas menyebutkan Samarinda sebagai jantung pusat sejarah Kalimantan Timur (2021: 11). Di kota tepian Sungai Mahakam ini, kebudayaan komunitas lokal Banjar, Kutai, dan Dayak dalam abad ke-20 tetap terjaga di samping keanekaragaman budaya para pendatang Jawa, Sulawesi, Tionghoa, dll. Sebagai contoh, unsur utama kebudayaan yang universal yakni bahasa, di ibu kota Kaltim ini tetap menggunakan bahasa Banjar sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) lintas etnis.
Pembangunan IKN Nusantara—apabila benar terealisasi—bisa bercermin dari realitas di Samarinda yang demografinya multietnis. Keanekaragaman etnis dan budaya lokal semestinya direspons dengan konsep multikulturalisme yang berformat integrasi. Kultur lokal di provinsi berjuluk Benua Etam ini harus diberi dimensi untuk lebih dari sekadar diakui, dihormati, dan dilestarikan. Komunitas lokal mesti diakomodasi dan diberdayakan dalam proses pemindahan IKN.
Respons multikulturalisme dengan penyatuan dalam mengantisipasi gegar budaya di IKN Nusantara merupakan opsi yang tepat. Pelibatan komunitas lokal tidak hanya sekadar berwujud simbolik seperti seremoni ramah tamah pimpinan negara dengan elite pemangku adat dan karnaval tari-tarian atau kesenian tradisional. Festival atributif ini bukanlah integrasi atau asimilasi, melainkan segregasi atau separasi alias pemisahan.
Merespons keberagaman budaya dengan pemisahan hakikatnya adalah meminggirkan dan mengeluarkan kelompok minoritas dari kelompok mayoritas. Ini sama saja dengan diskriminasi. Konsep separasi, menurut Adeno Addis dalam buku Ethnicity and Group Rights (1997: 113) justru cenderung pada proses pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Kekhawatiran komunitas lokal akan termarginalisasi dan tereliminasi dari pembangunan IKN Nusantara mesti disikapi dengan bijak. Jika langkah penanganannya keliru, bisa saja tergelincir dalam politik identitas yang berkonotasi negatif. Apalagi dikotomi suku asli, putra daerah, dan pendatang di Kaltim juga kembali mengemuka di ruang publik sejak penyebaran video berkonten ungkapan “Kalimantan tempat jin buang anak” per 23 Januari 2022. Fenomena ini jangan sampai melahirkan celah bagi para politikus pusat maupun daerah untuk menunggangi isu primordialisme demi kepentingan politik kuasanya.
Unsur-unsur kebudayaan pada suku asli di Kaltim yang meliputi bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian lebih dari sekadar tontonan pertunjukan, pajangan dalam museum atau ornamen pelengkap bangunan fisik. Apresiasi kearifan lokal bukan sekadar pemanis pidato.
Partisipasi komunitas lokal dengan khazanah kulturnya harus dilibatkan dengan prinsip egaliter atau kesetaraan. Kasus marginalisasi Betawi di Jakarta tidak boleh terjadi di IKN Nusantara.
(Tulisan ini terbit kali pertama di Surat Kabar Harian Info Indonesia edisi Jumat, 25 Februari 2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar