Perang di Samarinda Baru Muncul Usai Proklamasi Kemerdekaan
Tugu Palagan di Teluk Lerong (foto Kaltim Post) |
Samarinda memang tak seperti Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang memperingati peristiwa perlawanan melawan penjajah tiap tahun. Maka tak sedikit warga Samarinda lebih tahu ada peristiwa heroik di Sangasanga. Kisah kian kelam, ketika tugu untuk mengenang perlawanan melawan penjajah rusak. Padahal, kisah pejuang di Samarinda tak kalah heroik.
PERLAWANAN fisik masyarakat melawan Belanda di Samarinda terjadi usai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Perlawanan itu, merenggut korban jiwa para gerilyawan kota ini. Menurut M Sarip, penulis penerima sertifikat Kompetensi Bidang Sejarah dari Kemdikbud-BNSP, sebelum 1945, tidak ada perlawanan fisik di Samarinda. Apalagi sejak politik etis awal abad ke-20. Secara umum di Hindia Belanda, pribumi bukan pada posisi yang harus menyusun gerakan bersenjata.
Semuanya bergerak secara politik. Bikin organisasi sosial-politik, pendidikan baca-tulis, propaganda melalui media pers, rapat politik penyadaran, dan sebagainya. "Perang fisik di Samarinda, juga di wilayah lain di seluruh Indonesia abad ke-20, baru marak pasca Perang Dunia II. Ada warisan senjata api, ada contoh perang fisik yang disaksikan, ada tinggalan kostum Heiho, ada latihan militer dari Jepang. Jadi, baru kepikiran bahwa Belanda pun bisa dilawan pakai senjata," kata penulis buku Samarinda Tempo Doeloe itu. Kisah perlawanan fisik masyarakat Samarinda bermula ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disambut dukungan masyarakat Samarinda.
Setelah pernyataan Indonesia merdeka itu, sebulan kemudian Belanda datang kembali ke Samarinda. Mereka membonceng sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Belanda dengan kekuatan militer dan persenjataannya, kembali berkuasa di Samarinda serta mendirikan pemerintahan NICA. "Pemuda Samarinda menyusun kekuatan untuk melawan Belanda. Pola perlawanan terbagi dua. Ada yang melalui gerakan diplomasi politik. Ada yang menyusun gerakan laskar gerilyawan bersenjata," papar Sarip kepada Kaltim Post. Dia melanjutkan, kedua gerakan ini sebenarnya bekerja sama. Gerakan politik Republiken alias kaum pro-RI yang dipimpin Abdoel Moeis Hassan melalui organisasi Ikatan Nasional Indonesia (INI) Cabang Samarinda, berperan sebagai informan dan menyuplai logistik bagi gerilyawan.
Laskar gerilyawan di Samarinda ada bermacam-macam kelompok. Satu di antara laskar yang terbesar bernama Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, disingkat BPRI. Laskar BPRI Samarinda berafiliasi kepada BPRI bentukan Bung Tomo di Surabaya. Lahirnya BPRI Samarinda yang dipimpin Djunaid Sanusie diperkukuh dengan bergabungnya rombongan laskar BPRI dari Banjarmasin. Gerakan bersenjata tidak mudah. Pejuang yang tidak berpengalaman militer dan tidak punya modal senjata api harus berlatih di dalam hutan. Laskar juga berusaha mencari senjata api dengan cara barter dengan pedagang dari Filipina dan menggali lokasi yang diperkirakan kuburan senjata zaman Jepang.
"Aksi serangan pertama di Samarinda terjadi pada 15 November 1946. Malam hari pejuang BPRI membakar Gudang Nigeo di kawasan Pelabuhan Samarinda. Lokasinya di tepi Sungai Mahakam, berseberangan dengan eks Bioskop Mahakama," lanjutnya. Gudang perusahaan dagang Belanda ini menyimpan kopra, rotan, dan damar yang siap diekspor. Aksi pembakaran ini lebih bersifat sabotase, gerakan rahasia tanpa ketahuan Belanda. Adapun kontak bersenjata pertama antara pejuang versus polisi Belanda terjadi pada 6 Januari 1947. "TKP di Sambutan. Ada tugu peringatannya di samping Kantor Kecamatan Sambutan. Di sini seorang pejuang bernama Tarmidzi gugur. Gerilyawan menyingkir ke Kampung Solong," sebutnya.
Esok hari, kembali terjadi pertempuran. Belanda menemukan lokasi laskar di Solong. Pasukan Belanda menyerang dari dua arah. Dengan pertimbangan jumlah pasukan dan persenjataan Belanda yang lebih unggul pada pertempuran kedua ini, para pimpinan pejuang memutuskan menyingkir dengan melintasi pematang sawah. Lalu mereka menyeberangi Sungai Lampake, yakni anak Sungai Karang Mumus, dengan perahu. Selama sepekan gerilyawan bertahan untuk merencanakan serangan balasan. Pada 15 Januari 1947 gerilyawan menyerang kompleks perumahan para penjabat kesyahbandaran Belanda di Teluk Lerong. Saat itu orang-orang Belanda mengadakan pesta malam hari. Terjadi tembak-menembak antara pejuang dengan polisi dan tentara Belanda yang berjaga-jaga di sekitar tempat berpesta.
Para pejuang mengundurkan diri. Kemudian berpencar karena kekuatan yang tak berimbang dalam pertempuran ketiga di Samarinda ini. "Perjuangan BPRI Samarinda beririsan juga dengan aksi Merah Putih di Sangasanga (Kabupaten Kutai Kartanegara) pada akhir Januari 1947. Namun, aksi tersebut berakhir dengan penumpasan oleh pasukan besar Belanda yang didatangkan dari luar Kalimantan," jelasnya. Pada pertengahan Februari 1947, sisa pasukan pejuang Sangasanga bersama pejuang Samarinda mengamankan diri sebuah rumah di tengah hutan di Kampung Pinang, Air Putih. Sekitar 200 meter dari rumah itu beberapa pejuang menempati pos penjagaan di muara jalan masuk.
Pada malam 28 Februari 1947, ringkas kisah pasukan Belanda menemukan lokasi pejuang di Pinang. Terjadi tembak-menembak. Di sini banyak pejuang yang gugur. Ada enam jenazah yang teridentifikasi dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan yang pertama di Jalan Jacob (sekarang Jalan Mutiara). Yaitu, M Tjorong bin Abu Bakar, Sastrowardjojo, Aman bin Ijuh, Asan, Masdar bin Mansur, dan Gondo. Beberapa jenazah lainnya dikumpulkan tentara KNIL Belanda dalam pondok lalu dibakar. Laskar yang selamat mundur berpencar. Ada yang terdampar di Ambalut. Ada yang meneruskan rute ke pedalaman Kutai. Ada yang ke selatan Kalimantan. Ada yang kembali ke Handil, berkonsolidasi dengan kekuatan yang sudah terpisah-pisah.
Sebagai peringatan sejarah pertempuran rakyat melawan penjajah di Samarinda, pada 10 November 1991, Pemerintah Daerah Kotamadya Samarinda meresmikan empat tugu palagan di empat lokasi berbeda. Masing-masing di Sambutan, Solong, Teluk Lerong, dan Bukit Pinang. Bentuk dan arsitektur bangunannya seragam. "Kurang satu tugu. Semestinya dibangun tugu kelima, penanda aksi pembakaran gudang Belanda di Pelabuhan Samarinda," sebutnya. Namun sayangnya, dari pengamatan Kaltim Post, tugu-tugu ini tak mendapat perhatian serius. Tampak tak terawat baik dan tak dijadikan tempat mengenang perjuangan para pahlawan yang spesial. Bahkan, tugu di kawasan Bukit Pinang Jalan Suryanata, ada warga yang membongkarnya. (riz/k8)
Noffiatul C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar