Muhammad Sarip dan Syifa Hajati dalam Talkshow Revitalisasi Pecinan Samarinda, 24 Agustus 2024
Samarinda,
SejarahKaltim.com
Sebuah talkshow bertema “Kota Samarinda dan Budaya Tionghoa” digelar pada Sabtu, 24 Agustus 2024, di Atrium Samarinda Central Plaza (SCP). Acara ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan International Workshop & Expo: Revitalizing The Chinatown of Samarinda yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Samarinda bersama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalimantan Timur.
Forum diskusi terbuka tersebut menghadirkan empat narasumber, yaitu Nurvina Wahyuni dari Dinas PUPR Samarinda, Muhammad Cecep Herly dari Dinas Perumahan dan Permukiman, Dr. Krismanto Kusbiantoro dari Universitas Maranatha Bandung, serta Muhammad Sarip, seorang sejarawan publik. Syifa Hajati, pegiat literasi dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, bertindak sebagai moderator.
“Terdapat data sensus penduduk Samarinda tahun 1930 yang menunjukkan bahwa orang-orang Tionghoa di kota ini menempati urutan kedua populasi terbanyak setelah orang Banjar,” kata Syifa Hajati dalam prolognya.
Nurvina Wahyuni menjelaskan bahwa proses revitalisasi kawasan Pecinan Samarinda diperkirakan membutuhkan waktu hingga tiga tahun. “Tapi untuk detailnya, itu wewenang Cipta Karya untuk menjelaskannya,” ujarnya.
Ketua proyek revitalisasi, Krismanto, menyatakan bahwa workshop dan expo yang berlangsung pada 20–25 Agustus 2024 hanyalah langkah awal dari upaya besar ini. “Untuk proses pembangunannya, tentu harus ada perangkat kerja daerah. Tapi saya melihat bahwa Kota Samarinda punya keunikan yang khas pada Chinatown yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain di Pulau Jawa. Arsitektur bangunan di Samarinda beradaptasi dengan kondisi alam lokal,” tuturnya.
Cecep Herly menambahkan, revitalisasi kawasan Pecinan harus memberikan manfaat nyata bagi kota. “Pecinan Samarinda itu nantinya harus menjadi destinasi wisata baru. Revitalisasi ini harus menghasilkan pendapatan daerah. Orang tidak sekadar berkunjung, tapi juga berbelanja di sini,” jelasnya.
Terkait tudingan bahwa proyek ini berpotensi mengistimewakan salah satu kelompok etnis, sejarawan Muhammad Sarip menepis anggapan tersebut. Ia menegaskan bahwa revitalisasi ini justru mencerminkan semangat keberagaman yang telah menjadi fondasi pembangunan Kota Samarinda.
“Kota Samarinda memang
dibangun oleh masyarakat lintas etnis, lintas agama. Kota ini tidak didirikan
oleh satu kelompok saja, melainkan dibangun secara kolektif, termasuk oleh
entitas Tionghoa. Kita menghormati keberagaman, bukan penyeragaman,” pungkas Sarip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar