Balikpapan - Samarinda-Seiring disahkannya UU TNI yang baru, narasi dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kembali menguat setelah dibendung gerakan reformasi dua dekade silam. Konsep peran ganda militer dalam kehidupan bernegara ini sempat diterapkan di Indonesia, termasuk di Bumi Ruhui Rahayu, Kalimantan Timur (Kaltim). Bahkan dimulai sebelum orde baru pada 1966.
Kepada DetikKalimantan, sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip mengungkap ihwal tersebut dari aspek historis. Mula implementasi dwifungsi ABRI di Kaltim secara faktual ialah, ketika Kolonel Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam) IX Mulawarman pada 1959. Kala itu, Hario senada dengan pemikiran Jenderal Abdul Haris Nasution yang menginginkan tentara menjalankan dua fungsi, yaitu sebagai alat pertahanan dan keamanan (hankam) negara dan sebagai kekuatan sosial politik.
“Objek sipil pertama yang dibidik Pangdam Hario adalah posisi wali kota Samarinda,” ujar Muhammad Sarip pada Selasa (25/3/2025).
Niat Hario ternyata berjalan mulus. Dia berhasil menempatkan tentara pilihannya sebagai wali kota pertama dan kedua Samarinda dari 1960 hingga 1965 yakni Kapten Soedjono Anton Joedhotedjoprawiro dan Letkol Ngoedio, Bc.Hk. Di Balikpapan, Hario berhasil mengganti wali kota Balikpapan pada 1963 dari sipil menjadi militer. Persisnya Letkol Bambang Sutikno yang menggantikan Aji Raden Sayid Mohammad yang menjabat pada tahun 1960–1963.
“Di sisi lain, Hario juga berkepentingan dengan jabatan gubernur Kaltim,” ungkap Sarip.
Langkah itu, lanjut Sarip, dimulai dengan memperkarakan gubernur Kaltim kala itu, yaitu Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, biasa disingkat APT Pranoto. Dia dituding menggelapkan uang negara. Dia kemudian dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer di Jakarta pada 1961. Namun, jabatan gubernur yang lowong tidak dapat dikuasai Hario karena DPRD Kaltim mengusung Abdoel Moeis Hassan, yang disokong oleh para veteran pejuang Republiken yang didominasi komunitas Banjar.
“Untuk kasus ini, riset Burhan Magenda mengungkap bahwa Hario sangat memperhitungkan kekuatan eks pejuang alias kaum Republiken dan veteran Perang Kemerdekaan di Samarinda,” tuturnya.
Kata Sarip, tindakan lain yang patut diperhatikan ialah upaya militer untuk membakar keraton Kutai di Tenggarong pada Agustus 1964. Namun saat itu Gubernur Abdoel Moeis Hassan berhasil mencegah pembakaran keraton.
Sebelumnya dengan dalih subversif alias makar, Hario yang telah berpangkat Brigadir Jenderal memerintahkan tentara untuk menangkap Sultan Adji Mohamad Parikesit, Bupati Kutai Adji Raden Padmo, aktivis Masyumi Adji Raden Kariowiti, dan sejumlah bangsawan Kutai.
“Mereka ditahan di penjara militer di Balikpapan tanpa proses peradilan,” sebutnya.
Kata Sarip, tak bisa mungkiri peranan Hario Kecik sangat signifikan di Kaltim karena terekam dalam memori kolektif masyarakat tempo dulu sebagai tokoh yang dikenal “killer” alias bengis. Kiprah Hario menimbulkan tragedi dan luka mendalam bagi Kesultanan Kutai dan Kesultanan Bulungan.
Hario Kecik tak sekadar menjabat Pangdam di Kaltim periode 1959–1965. Dia juga menempati jabatan sipil sebagai Ketua Front Nasional Kaltim. Hario berdalih, bukan dia yang menginginkan jabatan tersebut, melainkan hasil pemilihan di Kaltim. Front Nasional merupakan lembaga bentukan Presiden Sukarno dalam rangka pembebasan Irian Barat dan dilanjutkan ke operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) alias Konfrontasi Ganyang Malaysia.
Di tingkat pusat, Front Nasional diketuai oleh Presiden Soekarno alias Bung Karno. Sementara di tingkat daerah, khususnya Kaltim, Hario menjadi ketuanya. Pada saat yang sama, gubernur Kaltim hanya sebagai anggota pleno Front Nasional Kaltim. Kedudukan gubernur lebih rendah ketimbang anggota pengurus harian Front Nasional Kaltim.
“Dengan demikian, saat itu kekuasaan Pangdam Hario sangat besar di Kaltim,” bebernya.
Tahun berganti tahun, akhirnya konsep dwifungsi militer berlaku pada 1966. Semenjak itu keputusan politik berupa pengangkatan gubernur dari tentara aktif. Berturut-turut gubernur Kaltim ialah Brigjen Abdoel Wahab Sjahranie (1967–1978), Brigjen Ery Suparjan (1978–1983), Kolonel Soewandi Roestam (1983–1988). Sipil sempat menjadi gubernur pada 1988–1998, yakni Muhammad Ardans. Tapi kemudian jenderal aktif kembali menjadi gubernur, yaitu Mayjen Suwarna Abdul Fatah (1998–2003).
Lantas bagaimana dengan respons warga Kaltim mengenai hal tersebut. Sarip mengungkap permulaan peran ganda militer pada 1959 ini hadirkan ragam tanggapan. Sarip mengungkap organisasi dan kelompok sosial-politik terbelah dalam tiga sikap. Ada yang mendukung, resisten hingga moderat.
Yang bersikap moderat adalah kalangan Partai Nasional Indonesia (PNI), yakni kubu Abdoel Moeis Hassan dengan entitas Banjar di Samarinda. Begitu pula kalangan Masyumi, Partai NU, Partai Sosialis Indonesia (PSI-Sjahrir), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Murba, bisa dibilang termasuk yang mengambil jalan tengah.
Lalu yang memilih resisten atau menolak tentu saja kalangan aristokrat Kesultanan Kutai dan Bulungan, karena mereka menjadi korban dari tindakan represif militer. Namun, suara penolakan tidak disampaikan secara terbuka karena kuatnya tekanan Kodam IX Mulawarman. Selan itu, para bangsawan Kutai tidak bulat sikapnya karena ada yang menjadi aktivis PNI, PKI, dll.
Dan yang memberikan dukungan adalah aliansi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Sayid Fachrul Baraqbah dan Persatuan Buruh Minyak (Perbum) di Balikpapan yang dipimpin oleh Martono.
“Kelompok kiri
mendukung tentara karena memiliki persamaan kepentingan untuk menghabisi
kelompok feodalisme, yang mereka anggap sebagai antek Nekolim,” pungkasnya. (*)
===
Artikel ini ditulis oleh Yuda Almerio dan telah tayang di Detik.com pada 25 Maret 2025
Berita & Info lainnya:
- Deputi OIKN Myrna Safitri Bahas Sejarah dan Lingkungan di IKN-Talk UINSI
- Ngaji Nusantara BEM PTNU Se-Kalimantan Hadirkan Sejarawan dan Akademisi Bahas IKN
- Pimpinan OIKN dan Rektor Unmul Launching Buku Historipedia Kalimantan Timur Karya Sarip dan Nanda
- Talk Show HUT Ke-67 Kaltim Bahas Sejarah Kepahlawanan
- Launching Buku Historipedia Kalimantan Timur di Unmul
- Buku Histori Kutai Dibedah Sejarawan BRIN, Senator Kaltim dan Anak Muda Samarinda
- Tim Komunikasi Presiden Adakan FGD Sejarah Kutai di Setneg
- Otorita IKN Bahas Kearifan Lokal Kaltim di Jakarta
- Mahasiswa dari Luar Kaltim Belajar Sejarah Kaltim dan IKN
- Lokakarya Unmul Susun Buku Ajar ISBD untuk Semua Fakultas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar